Komunikasi Dalam Keluarga

Pas masih bujang, dua kali ikut seminar pra nikah, dan dua kali itu juga disenyumin sama temen. Senyum yang ada bau-bau sinis dan mengandung pesan antara “pinky” dan “kebelet nikah”.

Niat ikut acara itu benar-benar ingin belajar dan ingin tahu apa yang harus dipersiapkan sebelum menikah, bagaimana cara berkomunikasi dengan pasangan, mengelola urusan domestik dan non-domestik pasca menikah. Dan dua seminar ini saya ikuti jauh sebelum saya menyampaikan keinginan untuk menikah pada orang tua.

Mungkin, sewajarnya manusia, menginginkan pasangan yang perfect mulai dari fisik hingga kepribadian. Than, seperti yang sudah kita ketahui bersama, bahwa fisik akan pudar di makan waktu, lalu apa hal yang dilakukan di masa senja kelak? Saya mengamati lingkungan sekitar, mulai dari warung hingga pasar, di mana saya menjumpai pasangan-pasangan senja. Sebagian nampak saling diam, sesekali memberikan perintah satu sama lain dan sebagian yang lain merespon perintah tersebut. Ada juga yang sedang membicarakan hal-hal sepele yang ditemui dua atau tiga hari lalu.

Dari sana, saya menyimpulkan bahwa hal paling utama yang terus berulang selama berkeluarga adalah adanya waktu untuk saling ngobrol antar keduanya. Darinya akan ada respek satu sama lain, tumbuhnya rasa perhatian yang lebih, dan kesepahaman.

Obrolanpun ada yang positif, negatif, dan tengah-tengahnya. Yang menjadi bumbu sedap dalam jalannya rumah tangga itu karena ada obrolan positif dan tengah-tengah, sedangkan negatif bisa dipastikan tidak akan membawa kebaikan.

2 bulan setelah menikah, saya dan istri berusaha menata bejibun aktifitas yang memang sudah ada pada masing-masing diantara kami dari sejak bujang. Ini penting, sangat penting, dan begitu penting, supaya ada waktu bagi kami untuk setidaknya ngobrol positif dan tengah-tengah tadi.

Dari daftar aktifitas yang bejibun itu tadi, disortir mana saja yang harus ditinggalkan, meski kalau dilihat semuanya adalah aktifitas yang membawa kebaikan. Aktifitas setiap minggunya harus terseleksi, hingga akhirnya masing-masing bisa melihat aktifitas selama satu bulan atau beberapa bulan ke depan. Yang endingnya ada kesepakatan bahwa ada hari-hari di mana kami tidak terlalu memberi perhatian antar pasangan (fokus pada aktifitas), dan hari-hari di mana kami saling ngobrol hal-hal positif dan tengah-tengah. Selain mendidik masing-masing kami untuk bisa fokus dan sabar, hal ini juga menjadi strategi agar waktu untuk bersama (baca: kencan) jadi lebih maksimal, dan segar. Haha.

Setidaknya, dari sini akan muncul habit dalam diri istri ketika saya ada aktifitas dadakan ke luar kota yang tidak bisa ditinggal, begitu sebaliknya. Dalam kondisi ini, kami menyebut diri kami sebagai seorang yang kembali bujang. Biasanya sebelum saya pergi ke luar, istri akan meminta izin untuk melakukan ini dan itu, di sana dan di sini, pecicilan, silaturahim, belajar seminar, dan hal positif lainnya yang bisa maksimal dilakukan manusia-manusia bujang. Begitu juga ketika istri sedang ada agenda ke luar kota, saya benar-benar seperti kembali bujang, baju bergelantungan di sana sini, meja kerja berantakan, yang hal-hal itu sulit terjadi kalau istri lagi di rumah, haha. Termasuk saya bisa lebih leluasa nongkrong di sana sini, dan ngenet hingga larut malam. Tapi sekali lagi, semua hal ini sudah dikomunikasikan.

Ada begitu banyak orang yang bermasalah dalam rumah tangganya, bahkan untuk hal-hal yang sepele. Saya banyak berbincang dengan orang yang sudah berkeluarga, dan beberapa kali tertegun dengan kondisi rumah tangganya.

Ada yang bercerita bahwa mereka adalah pasangan yang mudah tersumut, pernah gara-gara salah ambil kerupuk, marahnya sampai berhari-hari. Dan pasangan ini adalah orang yang sudah lama dalam berumah tangga.

Ada juga bapak-bapak yang curhat ke saya bahwa perannya dalam keluarga telah diambil alih oleh istri yang lebih dominan, hingga ia sudah tak berkutik dan hanya merasa seperti pembantu di keluarganya sendiri. Ini parah.

Dan ternyata ada juga yang rumah tangganya terasa hambar, sampai terlontar dari mulut si bapak itu sendiri bahwa ia tidak memiliki rasa cinta terhadap istrinya, dan ia juga menilai bahwa istrinya tak memiliki rasa cinta pada dirinya.

Komunikasi itu hal yang sepele, tapi membutuhkan seni, menata kalimat dan perasaan.

Membutuhkan kejujuran, ada yang khawatir jika menyampaikan sesuatu akan ditentang. Membutuhkan kesabaran, menyampaikan di saat yang tepat. Membutuhkan penawaran, jangan hanya melempar satu judul, tapi lempar beberapa judul dan masing-masing pertimbangan atas judul-judul yang dilempar itu tadi, sebab akibatnya. Membutuhkan kesepakatan, saya yakin suami dan istri itu defaultnya sepakat, namun kadang seni, kesabaran, penawaran, dan kejujurannya itu tidak terkombinasi dengan baik, hingga akhirnya tidak ketemu.

Sebagian dari kita, terkadang ada rasa gengsi (mungkin ada istilah yang lebih tepat) untuk jujur dan menerima pasangan sendiri di hadapan orang lain. Yang kalau dipikir-pikir, ini hal yang sangat childish, sangat tidak perlu. Dan ini saya temui di masyarakat, dalam obrolan dengan para bapak-bapak, mulai dari yang masyarakat ‘ammah, hingga yang pelaku dakwah.

Saya sendiri dan istri, saat ini, malah mulai menyusun strategi untuk menyiarkan pada dunia bahwa kami adalah tim yang kuat, yang mesra, romantis, memiliki tujuan-tujuan besar, dan sungguh-sungguh dalam menjalankannya.

Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan beberapa poin yang Insya Allah penting untuk dibangun.

  1. Sibukkan aktifitas keluarga dalam hal yang positif bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk orang banyak. Dan tahap ini harus dikomunikasikan dan disepakati bersama pasangan.
  2. Luangkan waktu minimal 1 hari dalam sepekan sebagai Family Day, di mana pada hari itu berisi hal-hal yang remeh tapi asik, seperti ngobrol ngalor ngidul, bisa berupa hal positif atau hal yang tengah-tengah tadi.

    Membaca barsama pasangan di satu ruangan yang sama dan saling memberitahukan info-info baru yang di dapat dari buku. Bisa juga dilakukan di toko buku, yang datangnya kita ke sana bukan untuk beli buku, hanya sekedar menghabiskan waktu sekian jam untuk membaca bersama. *gretongan

    Masak bersama dengan racikan resep yang dicari lewat internet atau buku. Bisa juga keluyuran ke rumah makan atau warung emperan.

    Silaturahim dengan sahabat, guru, teman, sambil membawa bingkisan.

  3. Disamping ibadah masing-masing, perlu ada ibadah yang dilakukan bersama, entah sekedar membaca Al Quran sekian halaman. Atau sholat malam, puasa sunnah. Dan yang tak kalah asik juga butuh persiapan adalah ibadah biologis yang Allah mengatakan dalam Al Quran; litaskunuu ilaiha. (Suami) merasa nyaman kepadanya (istri). Dan sebaliknya. Ibadah yang setiap detiknya mengalirkan ketentraman, kenyamanan, kenikmatan, dan pahala.

    Kalau saya dan istri biasanya bersama sholat dhuha di rumah, membaca dzikir pagi dilanjut baca Al Qur’an atau saling simak hafalan.

Bagi yang sudah dan yang belum berkeluarga, semoga apa yang saya tulis di sini bisa memberikan manfaat dalam membangun komunikasi di keluarga.

Yakin Ngga Mau Komen?