Saat sedang menikmati keindahan Merapi, saya berdiskusi dengan orang aneh yang baru saya jumpai hari itu. Iya, dia lusuh, pakaiannya semrawut, gerak-gerik tubuhnya sedikit mempunyai khas. Saya merasa sedang berbicara dengan diri sendiri.
“Mas, keindahan Merapi ini muncul setelah tumbal-tumbal bergelimpangan.” Ujarnya. “Dan bentangan ini adalah hasil wedhus-gembel yang mengangkat nyawa manusia tanpa dosa.”
Saya hanya sibuk mendengarkan.
“Terkadang saya agak geli Mas, kalo liat sekumpulan manusia yang mereka tidak tau bagaimana seni untuk mengungkapkan ekspresi. Mereka bergeliat dengan bahasa-bahasa lebay, dan beserabut untuk hal-hal yang mampu mendongkrak eksistensi.”
Dalam hati, saya mengiyakan.
“Saya sebenarnya tahu dan paham tentang apa yang ingin mereka tunjukkan. Tapi ya itu tadi, karena mereka tidak mampu menuangkan seni dalam paham narsisme, jadi terlihat lucu dan cocok untuk jadi bahan tawa. Lebih baik menjadi seorang yang diam, daripada banyak memunculkan wacana-wacana untuk konsumsi publik.”
Dan orang aneh itu pergi.
Dia meminta izin untuk ngising. Tapi saya tunggu hingga menjelang pulang, ia tak lagi hadir.