Ada saat-saat di mana saya menunaikan ibadah wajib di rumah dikarenakan bermacam hal. Pada saat-saat ini, biasanya saya ibadah berjamaah (berdua) bersama istri. Jika bertepatan pada waktu yang Jahr (1), biasanya saya sempatkan untuk buka mushaf dan meluangkan beberapa saat untuk re-aktivasi memori. Setelahnya, beberapa halaman mushaf yang sebelumnya saya re-aktivasi (murajaah) itu saya baca dalam ibadah berjamaah.
Bukan tanpa alasan saya melakukannya.
Pernah dalam suatu obrolan yang santai, entah disengaja atau mengalir begitu saja, istri saya berkata, “Aku kalau denger kamu ngaji, rasanya pengen netesin air mata.”
Kalimat yang meluncur dari mulut istri saya juga bukan kalimat pertama yang menjadi motivasi bagi saya untuk membaca potongan surat-surat panjang dalam ibadah wajib.
Jauh sebelum menikah, saat masih usia remaja, ummi saya pernah berkata, dan perkataannya ini yang menjadi bagian dari motivasi besar saya dalam menghafalkan ayat langit. “Ummi pengen anak-anak nanti ketika jadi imam sholat, yang lama bacaannya, bukan baca surat yang sering dibaca orang pada umumnya, dan kalo bisa selain juz 30.” begitu ujarnya.
Tentu kalimat itu muncul tanpa memandang miring surat-surat yang ada dalam juz 30. Beliau melanjutkan, “Biar kalian seperti iman-imam di Mekkah, Masjidil Haram.”
1. Jahr, mengeraskan bacaan, imam membaca dengan suara yang didengar makmum.