Sebelum menjelaskan lebih lanjut, ada baiknya kamu mengikuti analogi berikut.
Alkisah
kamu baru saja membuat video pertama untuk situs kamu, dan kamu sangat bersemangat untuk membagikannya pada dunia. kamu merasa sangat ecxited dengan diri kamu sendiri.
kamu membuka web browser dan segera log in ke Dashboard WordPress. Kemudian kamu masuk ke “Add New Post” dan memilih post format “Video”. kamu menulis sedikit deskripsi untuk video tersebut, kemudian mengupload video ke Media Library.
“Hff, masih harus nunggu nih.” Begitu gumam kamu dalam hati. kamu mengalihkan fokus pada hal lain sambil menunggu video selesai diupload. Setelah beberapa saat, video berhasil diupload sempurna.
kamu langsung klik “Publish” dan segera menyebarkannya ke sosial media. Twitter, Facebook, dan lainnya. kamu merasa semuanya akan berjalan sangat baik dan tidak ada masalah.
Hal yang Tak Diinginkan Mulai Terjadi
Saat kamu sedang asik membagikan link di sosial media, muncul notifikasi di Facebook yang berisikan hal-hal berikut;
“Lagi nyoba liat video lu, tapi kok langsung berenti setelah beberapa detik yak?”
“Videonya ngga mau play, cuma keliatan kotak item doang.”
“Gue ngga bisa liat video lu dari HP, kenapa ya?”
kamu bingung dengan pertanyaan-pertanyaan mereka, padahal belum lama kamu memutar video itu di web dan baik-baik saja. Kemudian kamu segera kembali membuka web kamu untuk memastikan apa yang salah (seperti yang disampaikan teman-teman kamu). Saat membuka web, kamu merasa sangat lambat, dan bertanya dalam hati, “Ngapa jadi berat gini bukanya?”
Hanya karena kamu bisa mengupload videonya ke WordPress, tidak berarti semuanya akan baik-baik saja.
Embed Video VS Self-host Video
Seperti yang sudah umum diketahui bahwa melakukan embed video membutuhkan dua langkah. Pertama, upload video ke penyedia layanan video sharing (pihak ketiga) seperti YouTube, Vimeo, dan lainnya. Kedua, kamu copy sebuah script yang diberikan pihak ketiga tadi. Video akan muncul tepat di mana kamu menempelkan (paste) script yang kamu copy. Dan video akan mengambil data (streming) dari server pihak ketiga, meski diputar melalui situs (WordPress) kamu.
Sedangkan self-host video melakukan hal yang sama seperti saat upload gambar ke WordPress.
Berikut ini akan saya jelaskan 10 alasan yang bisa menjadi wawasan bagi kamu mengapa sebaiknya tidak upload file video di server atau hosting sendiri.
1. Server Bandwidth
Umumnya, file video selalu berukuran besar. Tidak seperti gambar yang biasanya hanya berukuran kilobytes, sebuah video HD rata-rata berukuran lebih dari 100MB. Sekarang, bayangkan apa yang kira-kira akan terjadi pada shared-hosting kamu, jika ada sekian pengunjung yang membuka dan melihat video yang sama dalam waktu yang bersamaan.
Ada banyak server provider yang menawarkan unlimited bandwidth, mungkin kamu akan mengira tidak ada masalah dengan hal ini. Tapi perlu kamu ingat bahwa kamu sedang berada di shared-hosting, di mana gambarannya seperti sebuah rumah susun, ada orang lain yang tinggal di tempat yang sama. Provider akan melihat (melalui sistem monitor) bahwa web kamu memakan banyak resources, dan bisa mengancam keselamatan warga lain.
kamu mendapat peringatan, dan jika diabaikan, akun kamu terancam disuspend.
2. File Size Limit dan Storage Space
Kebanyakan server provider membatasi upload file dengan ukuran maksimum 50MB.
Selain itu, kamu juga perlu ingat bahwa semakin banyak file (berukuran besar) yang tersimpan di server, akan membuat kamu semakin sulit saat melakukan backup data. kamu membutuhkan waktu yang lebih lama, dan koneksi yang lebih stabil.
3. Loading Video yang Lambat dan Berhenti Mendadak
Hal ini terjadi karena koneksi yang tidak stabil dari sisi client atau pengunjung web, juga karena tidak didukung oleh teknologi cloud dari server, sehingga ketika client menunggu data (dan dalam koneksi yang tidak stabil), koneksi lebih mudah putus.
Berbeda dengan server dari situs video sharing, mereka mengatur servernya untuk mudah dan cepat berinteraksi dengan komputer client (pengunjung), sehingga tetap bisa terhubung meski dalam koneksi yang tidak stabil.
4. Tidak Ada Format Standar Untuk Web Video
Saat ini spesifikasi dari HTML5 belum menentukan standar web video, sehingga web browser yang ada sekarang masih semaunya sendiri menentukan format video yang mereka support.
Internet Explorer dan Safari bisa memutar video dengan format H.264 (MP4), sedangkan Firefox bisa memutar video dengan format Ogg dan WebM. Terimakasih untuk Chrome yang bisa memutar semua video.
Tapi, jika kamu ingin memastikan bahwa video kamu bisa dinikmati melalui semua web browser, kamu harus convert video kamu ke dalam format .mpr, .ogg atau .ogv, dan .webm yang nantinya semua file dengan format berbeda itu juga wajib kamu upload.
Jika kamu mengupload ke YouTube atau Vimeo, mereka secara otomatis membuatkan semua file dengan format tersebut di servernya, sehingga video kamu bisa dinikmati oleh semua orang.
5. Pilihan Kualitas di Satu Video
Saat ini ada banyak pilihan device yang bisa digunakan untuk bisa menikmati konten di internet. Desktop, laptop, tablet, hingga mobile. Dan masing-masing memiliki berbagai ukuran layar.
Untuk alasan itulah, perlu adanya banyak kualitas video. Tidak mungkin pengunjung melalui mobile device diberikan kualitas Full HD alias 1080p, dan tentu juga mereka lebih memilih 360p.
Jadi, selain format video yang bermacam-macam (seperti dijelaskan pada poin ke-4) kamu juga harus menyiapkan pilihan kualitas video untuk pengunjung kamu.
Kesimpulan
Ada banyak pilihan yang bisa kamu gunakan untuk mengupload file video, dan kebanyakan dari mereka menawarkan berbagai fitur dengan gratis. Saya pikir, tidak ada alasan bagi kamu untuk mengupload video di server sendiri, terlebih setelah kamu membaca catatan ini.
Ke depan (dan sekarang sudah mulai terasa), konten video akan menjadi hal yang diminati karena lebih detail, lebih visual, dan lebih intuitif.
Semoga bermanfaat.