Menimba Ilmu Mahal

Ibrahim Vatih
26 December 2013

Bapak mertua saya tinggal di desa pelosok. Pelosoknya ini mungkin ngga akan pernah terbayang sama kebanyakan dari kalian. Super pelosok pokoknya. Tapi bapak ini orangnya tipe pembelajar tangguh. Pemahamannya terhadap Islam saya katakan moderat.

Bapak menguasai banyak kitab-kitab ulama jawa yang saya ngga hafal nama ulama dan kitabnya, tapi dari cara bapak menyampaikan sebuah pendapat, saya tau kalau bapak menguasai apa yang ia baca (juga guru yang langsung ia temui), sekaligus membuka mata saya bahwa banyak ulama jawa terdahulu yang pemahaman dan akidahnya murni.

Sejak pertama kali ngobrol tentang pemikiran Islam sama bapak, saya ngerasa semua yang saya pahami selama ini (sejak sebelum nikah) sama persis dengan bapak, sampai yang detail-detail, termasuk menyikapi masalah furu’ (cabang) yang dinamis. Kalau begini maka begini, kalau begitu maka begitu.

Tentang tarekat dan sufi, yang mungkin ngga umum di kalangan orang yang sering saya kumpuli, termasuk di keluarga saya. Diam-diam saya menjadi silent student terhadap tarekat dan sufi. Saya mengenal tarekat ini dan itu, mulai dari yang di luar sampai yang lokal, secara silent pula saya memetakan mana yang menurut saya masih murni akidahnya, dan mana yang sudah bergeser.

Lha kok, pas ngobrol sama bapak tentang tarekat dan sufi ini, pendapat yang meluncur dari mulut bapak persis seperti yang udah tak pelajari. Bapak bilang yang ini masih ngga masalah, yang itu udah parah. Malah saya jadi banyak belajar tentang ini ke bapak.

Manfaat utama yang saya dapet dari mempelajari sufi ini, saya jadi terbiasa reflek ingat sama Kemahaan Allah di setiap aktifitas yang saya lakukan, dan membayangkan efek yang terkena sampai pada level partikel, bahkan nano *iki ngomong opo tho?

Tadi ngobrol sama bapak tentang menuntut ilmu. Obrolan selalu enak, karena seperti biasa, frekuensinya udah sama, bahkan sebelum disamain, hal yang jarang banget saya lakukan. Biasanya kalau ngobrol sama orang lain, saya nunggu frekuensi lawan bicara ada di mana, saya yang menyesuaikan.

Tentang ilmu ini, menurut bapak, banyak orang yang enggan untuk gerak mendatangi ilmu. Bapak ngasih contoh para tetangga yang lebih suka manfaatin waktu buat cari harta. Saya sendiri nimpali kalau saya sama anaknya bapak (istri maksudnya, hehe) selalu berusaha dateng ke majelis ilmu apapun bentuknya, mulai dari yang gratisan sampai yang bayarnya jutaan. Tapi tetep ada prioritas dan itung-itungan sendiri. Ngga semuanya harus disamperi. Bapak juga berpendapat sama.

Kesimpulan kita sama, ilmu yang berkah itu membawa kita pada perubahan yang berkah. Semakin banyak ilmu, kita semakin kuat dan dinamis. Ilmu itu rumus kehidupan. Kalau kita ngga tau rumusnya, ya jawaban atas permasalahan yang dijumpai dalam perjalanan hidup akan terasa sulit untuk didapat. Atau bahkan ngga ketemu.

Ilmu yang berkah juga menuntun kita untuk mendapatkan rahmat Allah. Ini tujuan kita yang sebenarnya. Karena ngga ada satupun manusia yang bisa mencapai surga tanpa rahmat Allah.

“Amal tidak akan bisa menyelamatkan seseorang di antara kalian (dari api neraka).” Mereka bertanya, “Tidak pula anda wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ya, saya pun tidak, kecuali Allah menganugerahkan rahmat kepadaku.” (HR. Bukhari)