Permasalahan Pelik Rumah Tangga

Ibrahim Vatih
22 June 2013

Pelik atau crowded, hingga menjadi lingkaran setan, saling meyalahkan antar satu dengan yang lain. Bahkan tidak jarang yang pada akhirnya menyalahkan Allah. It’s true story.

Saya sendiri selalu setengah tidak percaya ketika mendengar kisah-kisah ‘mengerikan’ seputar rumah tangga. Berikut ini coba saya tuliskan salah satu kisah yang saya sendiri mungkin belum bisa memberikan keterangan atau catatan untuk kisah ini. Semoga bisa diambil pelajaran.

Ada seorang mahasiswi shalihah asal Palembang yang kuliah di Yogyakarta. Banyak orang mengatakan perawakannya cantik, dan ia keturunan orang terhormat. Bulanan yang diberikan orangtua saat itu (tahun 2000-an awal) adalah dua juta lebih, angka yang lumayan untuk rata-rata mahasiswi saat itu. Dalam kisahnya yang disampaikan pada seorang ustadz, ia mengaku sebagai pribadi yang sangat rajin beribadah. Puasa, tahajjud, dhuha, tilawah, dan amalan sunnah lainnya. Prestasi akademiknya juga tidak kalah mentereng.

Tak pelak, segala kelebihan yang melekat pada dirinya menimbulkan fitnah, bagi orang lain dan dirinya sendiri. Tidak sedikit laki-laki yang tergoda untuk menggodanya. Mulai dari yang bahasanya santun, seperti membangunkan sholat malam, hingga yang terang-terangan mengajaknya pacaran dan zina. Semua godaan itu mempengaruhi batinnya, ia sempat berpikir untuk pacaran, namun tidak sampai terlaksana karena keteguhannya dalam menjaga sikap. Di lain sisi, ia mengisahkan pada ustadz bahwa ia juga sudah sangat ingin menikah demi menjaga kehormatan, melindunginya dari godaan nafsu syahwat yang menurutnya sudah hampir tak tertahan.

Ia meminta pada laki-laki yang menurutnya shalih untuk menikahinya, tentu melalui perantara. Namun beberapa laki-laki yang ia minta belum ada yang menyanggupi. Di satu sisi, ia semakin gerah dengan fitnah dan syahwat yang tak terbendung.

Dalam kondisi yang sudah sangat ingin menikah, datanglah seorang laki-laki shalih dan mengajaknya menikah. Seorang laki-laki shalih dari keluarga yang sangat miskin. Laki-laki ini cerdas, selalu menjadi juara umum sejak SD hingga SMA, dan termasuk dari laki-laki yang berdiri di garda terdepan di setiap agenda dakwah kampus, pada saat itu.

Perbedaan strata sosial menjadi penyebab ditolaknya laki-laki ini oleh ibu dari perempuan. Namun, kemantapan hati perempuan untuk menikah dengan laki-laki ini sudah bulat. Ia mengancam jika tidak segera menikah, ia tidak akan melanjutkan kuliahnya. Hal ini membuat ibu luluh, hingga terjadilah pernikahan itu.

Dua bulan sejak hari pernikahan, perempuan mendapati bahwa menikah tidak seindah apa yang menjadi ekspektasinya sejak SMA di mana ia mulai mengenal islam lebih dekat dan gemar membaca buku-buku munakahat. Ia mendapati bahwa pernikahan yang ia lakukan justru mendatangkan banyak prahara. Ia baru tahu bahwa suaminya tidak pernah lulus S1 meski sudah menyelesaikan kuliahnya. Faktor ekonomi menjadikan suami tidak bisa menyelesaikan administrasi dan mengikuti wisuda untuk mendapatkan gelar S1 secara formal, hal ini menjadikan suami sulit mencari pekerjaan.

Ia yang manja, cengeng, dan terbiasa ‘terima jadi’ dari orangtua, kini merasakan penderitaan yang teramat. Hutang kesana kemari, hingga tak terasa, total hutang suami pada teman-temannya mencapai 30 juta lebih. Hal itu dilakukan untuk mendapat kontrakan dan kebutuhan hidup, ditambah perempuan ini sedang hamil pertama tidak lama setelah mereka menikah.

Satu tahun berjalan dengan kondisi keluarga yang serba carut-marut, dan anak pertama sudah lahir. Tak lama setelahnya, ia mengajak suami untuk tinggal bersama orangtuanya di Palembang. Karena tak punya pilihan lain selain menyambung hidup di sana. Mereka meninggalkan Yogyakarta dengan penuh hutang dan luka. Rasa benci dan kecewa pada suami semakin menjadi, namun tak pernah ia sampaikan dengan perkataan dan perbuatan. Masih ada benih dalam pikiran untuk berbakti pada sang qawwam (pemimpin).

Dua tahun menjalani hidup di Palembang, ia dan suami sering dicaci oleh ibu dengan sindiran dan perkataan yang tajam. Suami lebih sering dianggap sebagai pembantu oleh ibu. Mencuci piring, nyapu, cuci baju, buang sampah, dan sebagainya. Ia semakin tertekan.

Puncaknya, pada bulan Ramadhan, ketika ia hendak menjenguk suami yang sedang i’tikaf, ibu semakin benci, dan terlontarlah kata-kata pengusiran dari mulut ibunya. Seketika itu juga, ia pergi dengan membawa bayi yang masih berumur 7 bulan, tanpa perbekalan. Hanya tas beserta isi dan baju yang ia kenakan.

Berbulan-bulan ia dan suami berpindah dari satu rumah teman ke rumah teman yang lain. Batinnya semakin tertekan. Hal itu ia lampiaskan dengan pikiran untuk mengakhiri hidup bersama anaknya. Ia kisahkan pada ustadz bahwa ia kecewa pada suami, ia kecewa pada diri sendiri atas keputusannya menikah dengan laki-laki yang tidak mapan, bahkan ia kecewa dengan Allah yang (menurutnya) tidak menunaikan janji untuk memudahkan rizki orang-orang yang telah menikah. Bahkan pernah ia berdoa pada Allah agar suaminya segera meninggal sehingga ia bisa menikah dengan laki-laki yang lebih mapan.

Sekian bulan menghilang dari bapak dan ibu, mereka putuskan untuk kembali, namuna hanya untuk mengambil sisa harta yang mereka punya, untuk kemudian pergi kembali. Setibanya di rumah, ia dipeluk erat oleh ibu. Dalam perjumpaan itu, bapak meminta mereka untuk tinggal lagi di rumah.

Ternyata, kebencian ibu pada menantu masih sangat dalam. Keputusan bapak agar mereka tinggal menjadi kekecewaan yang sedikit namun kini menjadi bukit. Akhirnya, ibu pergi meninggalkan rumah. Hilang tak ada kabar hingga anak kedua lahir.

Rekam jejak hitam semakin menumpuk. Ia merasa sangat bersalah pada ibu yang pergi meninggalkan rumah. Ia merasa benci pada suami dalam hati. Ia merasa kasihan pada bapak yang sakit-sakitan sejak ditinggal ibu.

Dalam kondisi batin yang sangat tertekan, ia mengisahkan bahwa masih banyak yang menganggap dirinya sebagai ummahat (ibu-ibu) yang militan, masih mengisi kajian untuk binaan, masih rutin mengikuti ngaji pekanan, dan tidak jarang menjadi pembicara di beberapa acara. Namun ia menganggap dirinya munafik, membicarakan kebaikan untuk orang lain, tapi dirinya sendiri gagal dalam menjalani hidup.

Berkali-kali ucapan bunuh diri dan kekecewaan pada suami juga Allah terlontar dalam kisahnya. Ia mengaku futur (kadar keimanan yang menurun), sangat futur, begitu juga dengan suaminya. Kondisi ruhiyah (rohani) mereka sangat jauh saat dulu masih bujang.

Diujung cerita, ia meminta saran terbaik dari sang ustadz, apa yang harus ia lakukan. Sebagai pamungkas, ia berkata; “Afwan (maaf) ustadz, jika nanti saya tidak merespon, saya tidak tahu apakah saya sudah pergi meninggalkan dunia.”