Beberapa hari lalu saya mendapatkan kabar melalui SMS, dari seorang teman yang sudah lama tidak berjumpa. Teman masa sekolah saya dulu, yang sekarang sudah jadi bos di salah satu pertambangan batu-bara di Kalimantan. Bahwa ia ada agenda pulang karena hendak menghadiri slametan hari kematian ibunya. Dan saya masih ingat dulu ketika teman saya memberikan kabar tentang kematian ibunya yang mendadak, tanpa ada sakit ataupun tanda-tanda. Begitulah Allah mengatur segala apa yang Dia kehendaki. Ketika itu saya masih di Jogja dan tidak sempat melayat pulang ke Magetan.
Ia mengajak saya untuk makan-makan, dan menjemput saya yang sedang berada di rumah.
He is my friendship. Seperti halnya beberapa diantara para pembaca, dia juga merupakan fans setia saya. Yang hampir dalam setiap kesempatan selalu bertanya tentang ini-itu pada saya. Laki-laki itu bernama Khoirul, tinggal di sebuah pelosok bukit di daerah selatan kabupaten Magetan. 40 menit perjalanan dari rumah saya. Rumah yang sederhana seperti kebanyakan pula rumah di sekitarnya. Ayahnya seorang petani bagi hasil yang tidak punya lahan bercocok tanam. Ibunya (dulu ketika masih hidup) hanya sebagai ibu rumah tangga biasa.
Di sini saya mau berbagi kisah tentang Khoirul dan Vatih. Dua insan yang memang sudah Allah takdirkan untuk saling berbagi kasih. Cerita ini akan sangat indah kawan!
Semua ini berawal dari cerita-cerita tentang kehidupannya yang ia ceritakan pada saya di setiap kesempatan. Dan saya menanggapi apa-apa yang ia samapaikan itu dengan beberapa suntikan nasihat tentang islam. Dan hal ini hampir terjadi setiap hari di masa-masa sekolah dulu. Secara tidak langsung saya berhasil menularkan beberapa pola pikir dan ilmu-ilmu Tarbiyah Dzatiyah padanya, yang mana hal itu tidak saya rencanakan sama sekali. Tapi hasilnya bisa saya lihat bagaimana keadaan dia saat ini.
Singkat cerita, UN untuk level SMP sederajat telah usai, dan ijazah telah dibagikan. Seperti biasa, Khoirul melakukan konsultasi pada saya. Lebih tepatnya meminta pendapat tentang langkah seperti apa yang harus dilakukannya saat ini, pasca masa-masa SMP.
“Kamu abis ini mau lanjut ke mana?”
“Engga lanjut ke mana-mana.”
Saya menjelaskan padanya tentang beberapa planning jangka panjang saya yang dianggap nyeleneh banyak orang itu. Memutuskan untuk berhenti sekolah secara formal dan lebih memilih untuk membangun jaringan secara luas di seluruh pelosok tanah air sejak dini. “Disitulah letak kekuatan kita sesungguhnya dalam menjalani kehidupan sosial.” Kata saya. “Dengan sekolah, maka perkembangan jaringan yang bisa kita lakukan sangatlah terbatas, ruang gerak dan waktu.” Saya menjelaskan banyak alasan padanya mengapa saya mengambil langkah seperti ini. “Di sekolah sangat tergantung dengan keterikatan aturan-aturan yang membatasi. Mempersulit diri untuk beraksi.”
Entah apa yang membuat ia tidak hanya berhenti pada tahap manggut-manggut ketika mendengar apa yang saya utarakan, tapi juga tergerak hingga ia mengamalkan ide nyeleneh saya.
Khoirul dan Vatih, putus sekolah.
Hari-hari berlalu. Saya merantau ke Surabaya, menetap di sebuah asrama qur’an, mempelajari literatur dan menghafalkannya. Sedangkan kabar terakhir tentang Khoirul adalah bahwa ia menjadi kuli bangunan yang tidak mesti kerjanya. Hanya saja saya yakin bahwa apa yang ia jalani saat ini adalah buah dari kepuasan-kepuasan batinnya yang selalu terpenuhi. Seperti halnya saya yang puas dengan apa yang saya jalani di Surabaya. Bukan berarti menilai sepihak, setidaknya ikatan hati ini bisa mengatakan semuanya.
***
Hampir satu tahun tak ada komunikasi, hingga akhirnya Khoirul punya HP bekas yang ia beli bersama saya di salah satu pusat perbelanjaan HP di Madiun. Ketika itu saya kebetulan sedang pulang dari Surabaya, dan menyempatkan diri untuk menemaninya. Begitulah dia, selalu mengandalkan saya di hampir setiap langkah yang ingin ia ambil. Seolah di matanya, Vatih adalah orang yang segala tahu. Saya tidak memanfaatkan momen-momen seperti ini untuk terus menerus memanjakannya dengan selalu memenuhi permintaan atau bantuan ini-itu. Saya selalu menyempatkan untuk memberi-nya sesuatu nilai lebih berupa kalimat-kalimat sederhana yang mampu membuatnya berubah perlahan. Dan hasilnya cukup memuaskan.
Semenjak (punya HP bekas) itu hampir setiap bulan ia memberikan kabar, melalui SMS atau telpon. Rajin sekali ia yang memulai lebih dulu. Sekedar bertanya kabar, bertanya hal-hal seputar agama, yang bisa saya jawab ya saya kasih tahu dan yang belum saya tahu maka saya katakan bahwa saya belum tahu.
Melalui komunikasi yang cukup intens, saya bisa mendapatkan gambaran apa-apa yang sedang ia kerjaan kala itu. Sempat menjadi salah satu karyawan di peternakan budi-daya lele. Lumayan naik satu peringkat setelah cukup puas menjadi kuli bangunan. Sempat juga menjadi makelar jual-beli HP. Sempat berkeliling melakukan tugas sebagai loper koran. Dan macam-macam pengalaman hidup yang menurutnya sangat menyenangkan. Dengan jujur ia mengatakan bahwa orientasinya bukan masalah uang, tapi lebih kepada bagaimana ia mampu bersyukur atas apa yang selama ini Allah berikan padanya.
Berbagai proses yang ia lalui itu menjadikannya mengerti dan paham beberapa kunci dalam berbisnis, lobi-lobi, diplomasi, hingga expanding-netwok.
Hingga suatu ketika ia melihat ada kesempatan untuk merasakan tantangan yang lebih besar. Merantau. Ia tak menyia-nyiakan kesempatan ketika salah seorang kawan hasil expanding-nework-nya ada yang menawarkan untuk pergi ke Kalimantan. Menjadi buruh di sebuah perusahaan tambang batu bara, menjadi operator alat berat yang dibayar tiap jam lima belas ribu. Lagi-lagi ia meminta pendapat pada saya. “Hehe, dasar anak kecil, aku bukan bapakmu yang selalu memberimu uang jajan, bung!” Canda saya menanggapi pertanyaannya. “Aku yakin kamu tau pilihan mana yang terbaik untuk kamu lakukan saat ini.”
***
Ya, ia pergi meninggalkan kampung halaman, diwarnai beberapa episode haru-biru oleh beberapa keluarga dan tetangga, begitu yang ia katakan pada saya selama perjalanannya di atas dek kapal yang memabukkan dan membosankan. Berangkat dari Surabaya menuju Kalimantan menggunakan kapal. “Edan kamu!”. Dia benar-benar pergi, dan do’aku membersamai keberangkatannya menuju tempat perantauan.
Beberapa bulan setelahnya, ia terlihat semakin mendapati kepuasan batin. Saya pun turut mendapatkan kelegaan atas kabar-kabar yang selalu disampaikannya.
Pada akhirnya, saya tidak pernah tahu bagaimana ceritanya ia bisa menjadi salah satu petinggi di perusahaan tersebut. Dengan gaji yang cukup membuat mata ini silau. Di usianya yang masih terbilang muda. Alhamdulillah bahwa ia masih menjadi Khoirul seperti yang saya kenal. Tak ada perubahan-perubahan ke arah negatif atas apa yang ia capai saat ini. Orientasinya yang bukan hanya pada uang itu semakin berkembang menjadi jariyah. Ya, dia bercerita tentang obsesinya untuk berbuat baik kepada banyak orang sebisa mungkin melalui materi yang Allah titipkan padanya.
***
Beberapa jam sebelum saya menuliskan catatan ini, saya sedang berada di sebuah warung menikmati Bakso Kikil bersama Khoirul, sambil berbagi kisah dan cinta. Kami menduduki dan menempati posisi yang sama persis seperti empat tahun lalu saat pertama kalinya kami mampir di warung ini, dan dalam keadaan kolot masa itu.
Saya bangga memiliki teman seperti dirinya, seorang yang baik hati yang selalu peduli akan setiap orang yang ia kenal. Dalam kondisi bagaimanapun, karakter kuat yang melekat dalam jiwanya adalah; Tidak pernah pelit terhadap siapapun dan membuat orang lain tersenyum saat melihatnya.
Ia yang membayari makanan, dan melunasi hutang-hutangnya pada saya yang saya sendiri sebenarnya sudah tidak ingat. Beberapa lembar kertas berwarna merah muda, satuan pecahan tertinggi mata uang NKRI.
Khoirul ketika masih jadi karyawan, hehe (klik gambar untuk memperbesar) :
Ada satu kalimat dalam perbincangan (di warung itu) yang sempat ia katakan.
“Aku bersyukur dulu ikut kamu untuk ngga sekolah. Aku ngga tau apa bisa seperti ini jika seandainya dulu sekolah.” Ungkapnya sambil disertai tawa terbahak. Saya mengerti apa yang ia maksudkan. Ditambah beberapa kalimat setelahnya. “Kita ini termasuk pemuda yang wajib bersyukur, banyak teman-teman sekolah kita dulu yang saat ini terlantung-lantung bingung menjalani hidup.” Kali ini giliran dia yang memberikan petuah-petuah motivasi dan penyemangat. Bla bla bla.
Selamat menempuh hidup baru.
12 comments
hesty arnize
khoirul anwar???
Vatih
Iya, jangan bilang kalau dia adalah calon suami Anda :D
hesty arnize
ouch ouch ketauwan deng,, ngahahahah
nyesel deh gw dulu nyuekin telponnya (inget gak lu? hahahah)
Vatih
Haha, iyap betulll..
Dulu dia nyolong nomor lu pas lagi baca-baca sms lu di hp gw..
kang ian dot com
keren ceritanya sangat memotivasi.. sekolah itu hanya wadah saja yang penting kitanya kreatif..salam kenal ya
Vatih
Iya, sepakat mengatakan bahwa sekolah hanyalah (salah satu) wadah untuk belajar. Dan sekolah bukanlah satu-satunya.
Vatih
Makasih buat koreksinya yaa.. Polisi bahasa yang cantik :D
nama kecil
Boleh koreksi? Tapi tak bermaksud jadi polisi bahasa..
Vatih
SIlahkan aja, hehe
nama kecil
hehe,, maaf ya
itu,, He is my friendship..
Vatih
Harusnya best-friend atau close-friend.
Friendship means “kata benda”.
Maklum, saya engga sekolah, jadi dalam mengaplikasikan ilmu masih setengah-setengah, berbeda dengan Anda :D
nama kecil
Waaaw,, ngga sekolah bisa tau kesalahannya.. Kereeen.
Ini mah beneran ngga ada hubungan sekolah atau ngga sekolah.