Apa Itu Cinta?

Ibrahim Vatih
5 July 2012

Kita tidak asing dengan kata cinta, salah satu syair Jawa yang cukup populer itu mengatakan Witing Trisna Jalaran Saka Kulina. Tapi bagi seorang Kahlil Gibran, hal itu tidak berlaku, Jangan kau kira cinta datang dari keakraban yang lama dan pendekatan yang tekun. Cinta adalah keterpautan jiwa, dan jika itu tak pernah ada, cinta tak akan pernah tercipta dalam hitungan tahun, bahkan abad.

Ya, cinta adalah keterpautan jiwa. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan jiwa? Well, saya bukan seorang yang ahli tentang hal ini. Saya hanya coba menuliskan ilmu yang pernah saya dapat, juga perlahan saya amalkan.

Jiwa, dalam paham western yang hedon itu, ada dua hal yang dibahas panjang lebar oleh filosof barat. Kita mengenal nama Karl Marx. Menurutnya, manusia itu disetir oleh perut (ekonomi) dan menurut Sigmund Freud disetir oleh libido seksnya. Ketika berhijrah pada abad 7 M, Muhammad mulia telah menyinggung temuan Marx dan Freud ini.

Orang berhijrah itu disetir oleh tiga orientasi: seks, materi, idealisme serta keimanan (karena Allah dan rasulNya). Artinya, manusia itu bisa jadi seharga dorongan perutnya, atau dorongan seksualnya dan dapat menjadi sangat idealis, meninggalkan kedua dorongan jiwa hewani dan nabati itu.

So, sampai di sini bisa kita sederhanakan bahwa perilaku manusia hakikatnya disetir oleh jiwa (nafs). Dan jiwa itu mempunyai banyak anggota, yang oleh al-Ghazzali disebut sebagai tentara hati (junud al-qalb).

Anggota jiwa dalam Al Quran diantaranya adalah qalb (hati), ruh (roh), aql (akal) dan iradah (kehendak). Al Quran menyebut kata nafs sebanyak 43 kali, 17 kali kata qalb-qulub, 24 kali kata ta’aqilun (berakal), dan 6 kali kata ruh-arwah. Itulah, modal manusia untuk hidup di dunia, yaitu sinergi semua, dan bukan independensi masing-masing anggotanya.

Nabi menjelaskan peran qalb (hati) dalam hidup manusia. Menurutnya, aspek penentu hakikat manusia adalah segumpal darah (mudghah), yang disebut qalb (hati). Gumpalan itulah yang menjadi penentu kebaikan dan kejahatan jasad manusia. Penjelasan tentang ini terdapat dalam hadits shahih Bukhari yang saya lupa redaksionalnya, he.

Sampai disini, dapat kita ambil konklusi bahwa cinta itu ada karena terpautnya jiwa. Sedangkan jiwa merupakan kumpulan dari 4 anggota pokok yang saling bersinergi. Masing-masing dari anggota pokok itu mempunyai kemungkinan untuk ber-iradah. Apakah ia ingin baik atau buruk. Sedangkan fitrah dasar manusia adalah suci (baik), jiwanya (empat anggota pokok) itu yang menentukan selanjutnya.

Dan untuk mengaplikasikan ilmu ini, saya iseng bertanya pada istri. “Sejak akad, butuh berapa lama bagimu untuk bisa merasakan cinta?” Istri saya terdiam sejenak, kemudian tersenyum dan berkata, “Tiga bulan lebih.” Ia balik bertanya pada saya dengan pertanyaan serupa, dan saya menjawab, “Dua bulan-an.”

Disini terjadi sebuah pengalaman menarik. Saya akan membaginya menjadi tiga cerita berbeda namun saling berkaitan.

Kisah pertama

Saya mengenal istri saya sejak dua tahun sebelum kami sah menjadi pasutri. Saat itu usia saya 17 tahun. Selama rentan dua tahun itu, ada banyak sekali hal yang saya lakukan bersamanya, tentunya masih dalam tahap yang wajar. Meski wajar di sini relative. Naik kereta api berdua menuju Jakarta, apakah hal ini wajar? Haha. Itu salah satu hal yang pernah saya lakukan dulu bersamanya (*). Dan ada cukup banyak lagi kejadian yang kalau dalam syair Jawa itu harusnya sudah masuk kategori Kulina.

Kisah kedua

Pernah suatu ketika, dalam rentan dua tahun (cerita sebelumnya) itu, ia membantu beberapa proses ta’aruf saya dengan beberapa perempuan. Saya memang sengaja meminta bantuannya karena memang ia mempunyai beberapa kedekatan dengan perempuan-perempuan yang pernah berproses dengan saya itu.

Kisah ketiga

Saya mengungkapkan pada orang tua tentang keinginan untuk menikah. Saat itu usia saya 18 tahun. Dan proses pencarian dilakukan. Seperti pada kisah kedua, ia beberapa kali terlibat dalam proses ini. Saya agak lupa berapa nama yang pernah berproses dengan saya. Kalau tidak salah hitung, ada 14. Pernah saya dijuluki Playboy Fiisabilillah oleh teman laki-laki saya yang mengetahui kisah ini. Haha. Sebagian besar proses itu tidak berlanjut karena adanya penolakan dari pihak orangtua perempuan. Faktor pendidikan, pekerjaan, dan usia. Saya lulusan SMP, pengangguran, dan masih anak kecil.

14 nama itu, semuanya merupakan perempuan-perempuan yang luar biasa. Beruntung, ummi (ibu) saya selalu mendampingi setiap proses dengan nasihat-nasihatnya. Yang selalu ia ulang adalah, “Kamu harus zero option!” Dan karena zero option yang terus menerus diulang oleh ummi itu, (alhamdulillah) saya bisa menempatkan jiwa ini pada tempatnya.

Oke, cukup untuk kisahnya. Saya tidak perlu melanjutkan. Kita kembali ke benang merah. Tentang cinta dan jiwa.

Cinta itu bagian dari jiwa, begitu juga nafsu. Dan nafsu juga terbagi menjadi beberapa bagian. Terkadang, kita sulit membedakan mana yang cinta dan mana yang nafsu.

Dan keterpautan jiwa itu hanya bisa dirajut melalui dua perkara. Pertama, melalui ukhuwah Islamiyah. Dan yang kedua melalui tali pernikahan. Dan masing-masing perkara ini mempunyai tingkat keterpautan jiwa yang berbeda. Tapi masing-masing memiliki landasan yang sama. Iman.

Semuanya sederhana saja, ketika jiwa tidak berlandaskan pada iman, maka akan terjadi pertentangan antara satu anggota jiwa dengan anggota jiwa yang lain. Tapi jika kekeliruan yang ada pada salah satunya itu dibiarkan, maka penyakit itu akan menular pada anggota yang lain. Dan jika itu terus berlanjut, maka terjadilah ketetapan Allah dalam surat Al Hajj ayat 46.

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada.”

Jadi lebih sederhana lagi. Cinta itu adalah iman. Ketika segala hal yang kita lakukan itu tidak berlandaskan pada iman, maka dengan mudah kita simpulkan bahwa itu adalah hal-hal yang bathil dan tidak memberikan keberkahan. Cinta yang terhubung terhadap sesama manusia dan terhadap Allah juga memiliki landasan iman yang sama.

Untuk dua manusia yang berlainan jenis, hukum witing tresna jalaran saka kulina itu tidak salah, karena fitrahnya memang demikian. Namun cinta yang sebenarnya itu baru terlihat dalam kolaborasi keduanya saat menjalani kehidupan rumah tangga. Kesanggupan pribadi masing-masing dalam menyatukan antar anggota jiwa, kemudian memautkan jiwanya dengan jiwa pasangannya, yang berlandaskan iman. Maka, tidak perlu heran ketika melihat artis yang bertahun-tahun pacaran namun bercerai hanya dalam beberapa bulan semenjak mereka melangsungkan pernikahan. Tidak jarang hal itu disertai dengan upaya saling membongkar aib mantan pasangannya. Apakah iman sudah melandasi jiwa mereka? Sehingga dengan mudahnya mempermainkan mitsaqan ghalidza?

*) Jangan ditiru. Hanya dilakukan oleh orang yang ahli dan profesional.