Ada sebuah situs yang bisa menampilkan harga sebuah website berdasarkan algoritma tertentu. Semakin banyak konten yang dipublish, maka akan semakin mahal harga website atau blognya.
Begitu juga dengan jumlah traffic atau pengunjung, struktur coding, dan nilai pagerank. Beberapa itu tadi mempengaruhi nilai harga dari website tersebut.
Bagaimana dengan harga untuk diri kamu? Dengan cara apa kamu bisa menilai diri? Jika dalam dunia website sudah ada standarisasi traffic, coding, konten, pagerank, maka untuk menilai (menaksir harga) diri, semuanya kembali pada tujuan untuk apa kamu hidup.
Ada tiga jenis manusia yang ada di muka bumi.
- Peduli pada diri sendiri dan orang lain
Mendidik diri sendiri dan mendidik orang lain. - Hanya peduli pada diri sendiri
Ia hanya belajar dan beribadah dengan ego, yang terpenting semua amal dan ibadahnya mendapat tempat di sisi Allah. - Tidak peduli pada diri sendiri dan juga tak peduli orang lain
Ia menjerumuskan diri pada kubang dosa sambil mengajak dan menghancurkan generasi lain, menyebarkan pemikiran sesat dan liberal, tidak berbeda dengan pola pikir masyarakat jahiliyah yang selalu berdoa “Robbana atina fiddun-ya”, yang berarti Tuhan kami, berilah kami bagian di dunia, tanpa “hasanah” dan tanpa bagian (kebaikan) di akhirat, “Fil-akhiroti hasanah”.
Paling tidak dari standar general di atas, kamu bisa mulai menilai tentang diri sendiri. Kemudian kamu bisa perlahan mengerucutkan pada aktifitas dunia dan aktifitas akhirat, amal fardhu, sunnah, dan passion di dunia, hobi, kesenangan, menggabungkan keduanya, dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Untuk diri sendiri, untuk diri dan orang lain, atau bahkan untuk menjerumuskan diri dan orang lain? karena kita tahu bahwa tidak sedikit orang yang belajar dan mengamalkan berbagai ilmu tapi hal-hal tersebut justru untuk disalahgunakan.
Nah, sekarang kita berlanjut pada harga berikutnya, yaitu bahwa apa yang kita kejar, yang menjadi obsesi, yang telah kita pelajari, dan telah kita miliki selama ini, semuanya tidak akan memiliki harga apa-apa ketika kita sama sekali tidak bisa menghargai orang lain. Di sini saya coba menuliskan tiga elemen kehidupan berikut ini;
Tidak menghargai orang yang ahli ilmu
kamu tahu penyanyi dangdut, mereka memiliki level ketenaran. Pedangdut kampung, daerah, dan nasional. Masing-masing level tentu memiliki harga yang berbeda. Ayu ting-ting yang dulu dengan sekarang sudah berbeda. Dulu, ia dibayar ratusan ribu untuk konser satu jam, sekarang ia menerima honor minimal 30 juta untuk lima judul lagu. Jika setiap lagu berdurasi 5 menit, maka uang 30 juta bisa ia dapatkan hanya dalam waktu kurang lebih 30 menit.
Pernah suatu ketika, ada seorang kawan yang mempunyai hajat, ia mencari seorang Qori Quran untuk membuka acaranya tersebut.
“Punya kenalan yang bisa Qori ngga?”
“Iya, ada, mau yang tingkat kabupaten, atau nasional?” ujar kawannya sambil guyon.
“Yang mana aja, kira-kira berapa honornya?”
“Kalo yang nasional kira-kira lima juta lah”
“Wah, mahal juga ya, bukannya cukup 100 ribu aja?”
Mindset kita selama ini memang sudah demikian. Kita tahu bahwa gelar Qori tentu jauh lebih mulia daripada penyanyi dangdut. Seorang Qori tingkat daerah sudah pasti bisa menyanyi dengan bagus, dan seorang pedangdut nasional belum tentu bisa melakukan Qiroah dengan indah. kamu bisa lihat perbedaannya.
Berlanjut ke kolom kanan >>>
Di mana posisi kita dalam memuliakan seorang ahli ilmu? Belum lagi banyak di kalangan kita yang hanya memberikan ucapan “terimakasih” pada seorang guru atau ustadz yang selesai memberikan ceramah atau tausiyahnya pada masyarakat. Mentok-mentoknya parsel buah atau amplop 200 ribu. Tidak ada keseimbangan antara cara kita dalam memperoleh ilmu dunia dan ilmu akhirat. Belum tentu apa yang diajarkan ustadz itu ada dalam mata kuliah di kampus, atau tempat-tempat lain.
Tidak menghargai tetangga
Mungkin kamu adalah orang paling kaya yang ada di kampung, biasa membayar orang hanya untuk membuang sampah, biasa naik motor hanya untuk ke masjid yang berjarak tak lebih dari 100 meter, biasa membayar ini dan itu yang semestinya tidak perlu dipaksakan demikian. Seberapapun kekayaan yang kamu miliki, jika sampai sikap meremehkan tetangga ada pada hati dan pikiran kamu, maka kamu sudah memutus nikmat tolong menolong. Siapa yang akan menolong kamu saat tiba-tiba terjadi bencana? kamu mau membayar orang? Siapa yang akan membela hak-hak kamu ketika kamu tersangkut masalah?
Tidak pernah terpikirkan bagaimana mungkin mereka yang tinggal di kota itu bisa sampai tidak mengenal tetangga di sebelahnya? Tidak ada waktu untuk saling tegur sapa satu sama lain?
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia menghormtai tetangganya” (H.R. Muslim)
Hargailah tetangga, keberadaannya tidak berbeda seakan mereka adalah sanak saudara kita sendiri.
Tidak menghargai saudara
Ketika tetangga sudah tidak bisa memberikan sesuatu pada kita, dan ketika keberadaan kita sudah terpojok, maka kasih sayang yang terjalin akan secara otomatis memanggil jiwa saudara kita untuk menyelamatkan, menolong, dan memberikan bantuan secara tepa-selira, ikhlas, dan total.
Sudah banyak terjadi di negeri ini, bahwa kakak dan adik memperebutkan tanah sampai saling bacok, dan saling menjebloskan ke penjara. Na’udzubillah. Bahkan tidak jarang kita mendengar bahwa anak membunuh ayah, ibu membunuh bayi, dan paman memperkosa keponakan. Kemana iman mereka? Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? Di mana penyebabnya? Mungkin, kurangnya sikap menghargai antar saudara menjadikan salah satu diantaranya terselimuti ego dan nafsu, hingga apapun dilakukan demi terpuaskan nafsu setannya tersebut.
Elemen-elemen lainnya; tidak menghargai umat agama lain, kaum dhuafa, pemimpin, lawan jenis, yang lebih tua atau muda, teman sebaya.
Sekarang, kamu sudah bisa membayangkan berapa harga untuk diri kamu. Semakin lengkap fitur dan spesifikasinya, maka harga suatu barang akan semakin mahal. Dan kamu juga tahu apa yang harus kamu lakukan untuk menaikkan harga yang sekarang kamu miliki.