Oh well, Alhamdulillah saya udah melalui banyak sekali proses pembuatan nama. Mulai dari nama komunitas, lembaga, usaha, media, sampai nama anak sendiri, hehe.

FYI, termasuk nama Ibrahim Vatih dan Riva Sakina juga bagian dari karya saya. Nama kami di KTP bukan itu, ~wkwk.

Berikut ini beberapa nama yang pernah hadir di sekeliling saya, tentu ngga saya sebutkan semuanya, cukup saya sebutkan yang agak populer saja, hehe;

  1. Fimadani
  2. Sintesa
  3. Satu Jam
  4. Revorma

Perhatikan, dari 4 nama di atas, hanya 1 saja yang paling mudah dipahami; Satu Jam. Secara branding, nama inilah yang paling lemah di antara nama lainnya. Mengapa bisa menjadi lemah? Akan saya bahas di bawah.

***

Sekarang ini mainstream kebanyakan orang ketika bericara tentang cari uang itu adalah wirausaha, tentu saja ini bagus. Imbasnya, mainstream berbondong-bondong membuat calon lapangan pekerjaan.

Iya, saya masih menyebutnya calon, karena seringkali saya temui para pendatang ini terlalu sibuk dengan mempersiapkan alat, mempersiapkan sistem, mempersiapkan hal-hal yang sebenarnya belum prioritas untuk disiapkan.

Jadilah mereka capek mendapati apa yang dilakukannya berujung pada zonk yang sempurna.

Tentang persiapan itu, menurut saya memang betul harus disiapkan, akan tetapi banyak orang yang kurang tepat dalam mempersiapkan idealismenya dalam berwirausaha. Dari beberapa persiapan itu, salah satunya adalah memberikan nama untuk perusahaan atau lembaga yang mau dibentuk.

Nama Perusahaan Seringkali Mirip, Tanya Kenapa?

Ini dia salah satu realita yang paling mudah untuk kita lihat, betapa masih banyak orang yang menempatkan porsi idealismenya secara berlebihan ketika memberikan nama untuk brand yang sedang dibangun. Idealis filosofis, ribet menurut saya.

Saya mau perusahaan saya ada kata blablabla-nya. Saya mau nama yang punya makna blablabla. Saya mau yang agamis, supaya blablabla.

Wah macem-macem banyak sekali orang yang tiba-tiba jadi idealis dan filosofis ketika berada pada tahap ini.

Walhasil, terms semacam inilah yang sering kita jumpai menyempil di antara nama perusahaan:

  1. Indotama
  2. Jaya
  3. Mandiri
  4. Sumber
  5. Mandiri
  6. Lestari
  7. Utama

Mungkin kamu akan bilang, “Itu nama PT nya aja, demi memenuhi persyaratan pembuatan PT yang harus begini-begitu. Nanti nama brand-nya ngga begitu kok.”

Saya jawab ngga, terms itu juga dipakai mainstream untuk brand, bukan hanya di nama PT saja. Faktanya memang demikian. Atau misalkan terms ini yang umum dipakai untuk nama-nama toko;

  1. Kurnia
  2. Timbul
  3. Pratama
  4. Dll

Justru kesan yang muncul adalah para pelaku usaha ini hanya asal memberikan nama untuk brand mereka, yang penting jasa atau dagangan laku.

Apakah hal semacam itu salah? Ngga sih, cuma kurang tepat. Idealis boleh, filosofis boleh. Tapi ketika sedang berhadapan pada brand, cara menggunakannya agak berbeda, perlu ditambah beberapa variabel dulu sebelum kita bisa menanam idealisme dan gagasan kita ke dalam brand.

Brand Sangat Membantu Percepatan Bisnis

Salah kalau sikap yang dipegang adalah asal memberikan nama yang penting dagangan laku.

Para ulama ahli branding mengatakan bahwa brand yang kemudian menjadi brand awareness bisa meningkatkan berbagai macam sisi positif terhadap tujuan bisnis, diantaranya;

  1. Trust
  2. Identitas
  3. Tribes
  4. Penggemar garis keras!
  5. Dll

Lha itu kan branding secara umum? Iya, betul, terus kenapa? Wong saya cuma njelasin sekilas tentang branding kok. Tulisan ini juga cuma fokus bahas nama kok. Ngga bahas warna, logo, font, dan lainnya.

Percayalah, bahkan hanya dalam pemilihan nama saja (ya, hanya nama saja) bisa membuat banyak peluang usaha melejit berkali-kali lipat.

Variabel yang Prioritas

Tadi saya katakan bahwa kamu boleh saja memasukkan idealisme, gagasan, pesan, atau apalah ke dalam brand atau nama yang mau kamu ketuk palu. Tapi itu dilakukan setelah kamu memahami beberapa variabel berikut ini.

1. Tidak Sama dengan Brand Lain

Pastikan nama yang kamu pilih itu belum digunakan oleh orang lain. Wah susah dong? Memang iya, tapi jangan gitu mikirnya. Kita ini mau bikin sesuatu yang bernilai untuk jangka panjang (bahkan bisa dibilang “abadi”). Kayaknya memang ngga ada orang yang mau bangun usaha tapi sudah diniatkan hanya sampai tahun sekian kemudian usahanya ditutup.

Mau membuat sesuatu yang long lasting ya memang harus dipikir. Tapi mikirnya bukan untuk bagus-bagusan menurut kamu lho. Fokusnya ke poin bahwa nama yang mau kamu pilih belum digunakan orang lain.

Setidaknya kalaupun terpaksa harus sama, maka industrinya harus beda dengan terms.

2. Tak Harus Punya Makna

Nama yang kamu pilih tidak harus nama yang sudah punya arti, terjemah, atau konotasi yang sudah bisa dipahami banyak orang pada wilayah di mana nama itu mau kamu bangun. Bisa saja menggunakan istilah atau terms dari budaya dan bahasa di negara lain tapi tetap mudah dieja orang lokal.

Kamu bisa pilih ejaan apa saja yang penting mudah untuk dieja (spell). Contohnya nama-nama ini; Alasmos, Busano, Namira, dll.

Bisa jadi 3 nama di atas masih membingungkan buat kamu sekarang.

Justru salah satu ciri nama itu bagus untuk brand adalah ketika nama itu ngga bisa dipahami di awal-awal brand itu dirintis. Tapi rutinitas konten dari brand itulah yang akan otomatis menjelaskan dan mengarahkan para audience (beberapa tahun kemudian).

3. Tak Harus Nyambung Makna dan Aplikasi Konkritnya

Atau bisa juga menggunakan nama yang jelas-jelas tidak nyambung dengan industri bisnis yang sedang kamu bangun. Sekali lagi, yang penting bisa dieja.

Misalnya kamu mau bangun rumah makan tapi nama brandnya Mabes. Dari nama ini nanti bisa dikembangkan ke banyak hal. Ada teman saya pernah merintis warung bebek goreng dengan nama ini (Mabes).

Secara brand sangat menarik, tapi teman saya ini cerita kalau dia agak kaget ternyata ngolah bebek itu sangat menguras energi (dia ngga siap di sini) dan akhirnya memutuskan untuk menutup usahanya.

Atau bisa juga pakai nama Jendela untuk usaha di bidang industri kreatif. Dan nama-nama lainnya. Yang penting visi misi jelas dan kamu bisa fokus ke visi misi itu secara konsisten.

Seperti Apple yang bermain di industri teknologi.

4. Masukkan Idealisme Kamu

Nah, ternyata kita baru boleh memasukkan idealisme, gagasan, dan lainnya pada urutan keempat. Setelah kamu memastikan bahwa nama yang kamu pick benar-benar unik dan beda.

***

Apakah nanti tidak dijadikan bahan omongan orang kalau namanya aneh, nama ngga nyambung, nama seperti ngasal?

Iyalah, pasti hal itu dijadikan bahan gunjingan orang-orang terdekat kamu, mereka akan membully kamu habis-habisan dianggap tidak pintar dalam memilih nama. Dan harap dicatat bahwa ini masih bagian dari perjuangan kamu membangun brand, lho.

Aktifitas branding adalah segala daya dan upaya yang kamu curahkan agar nilai yang sedang kamu perjuangkan bisa diterima masyarakat. Sampai pada akhirnya nama brand kamu terasosiasikan pada sesuatu yang memang itu tujuan dari kamu membangun brand tersebut. Ini kalimatnya bisa dimengerti ngga tho? Semoga bisa :D

Contoh Nama yang Menerapkan Variabel Branding

Seperti misalnya Apple yang membangun industri teknologi. Nama ini sudah umum, tapi ketika digunakan pada industri tertentu, nama ini ya hanya dimiliki si Apple. Ini yang saya bilang kalau terpaksa harus sama, setidaknya beda industri. Bahkan kalau menurut saya, Apple bukan terpaksa tapi memang sengaja.

Sedikit Bocoran (baca: curhat)

Ya mumpung lagi menulis tentang nama brand, saya juga punya pengalaman unik karena menerapkan ilmu pemilihan nama brand yang sedang saya bahas ini.

Ketika saya memutuskan pick nama Sintesa sebagai nama program pesantren, keputusan saya dipertanyakan oleh orang-orang terdekat. Dibully secara halus. Ini adalah keputusan yang ngga mainstream.

Umumnya pesantren menggunakan terms yang agamis pada nama program pesantren mereka. Ya ada saja yang komentar, kok kayak nama grup vokal?

Dan karena saya sudah tahu rumusnya, ya saya cuek saja. Saya fokus pada daya dan upaya untuk membangun value pada nama Sintesa.

Dari 4 variabel tentang rumus membuat nama brand di atas, pada poin idealisme ada beberapa hal yang saya gunakan:

  1. Pesantren ini untuk anak-anak muda yang kalau mendengar terms yang agamis (kebanyakan dari mereka) sudah jaga jarak.
  2. Menyampaikan kebaikan bisa dikemas dengan cara apa saja yang penting ngga menyalahi nilai luhur, moral, dan agama.
  3. Saya pribadi juga “bosan” dengan nama pesantren yang itu-itu saja.

Sudah banyak program pesantren yang menggunakan nama Rumah Quran, Darussalam, Rumah Tahfidz, Al Hikmah atau menggunakan terms ini:

  1. Nurul
  2. Baitul
  3. Al
  4. Ulum
  5. Darul
  6. Manbaul
  7. Dll

Yang kalau misalnya ditanya, anak kamu nyantri di mana? Kamu akan jawab, sekarang lagi nyantri di Al Hikmah. Maka pasti akan ada pertanyaan lanjutan, Al Hikmah yang mana? Asuhan siapa? Programnya apa?

Brand yang bagus adalah yang kalau disebutkan namanya orang langsung paham tanpa mempertanyakan konten atau isinya.

Maaf nih, salah satu contoh brand pesantren yang ngga sengaja bagus (menurut saya) adalah Gontor. Kenapa saya katakan tidak sengaja? Karena 3 hal ini:

  1. Buat yang belum tahu, Gontor sebenarnya adalah nama desa di mana pesantren itu berada. Secara official nama yayasan (atau nama pesantren aslinya) adalah Darussalam.
  2. Orang dulu kalau nyebut pesantren langsung nama daerahnya.
  3. Ternyata, secara “tidak sengaja” term Gontor itu unik (tidak ada yang pakai).

Sama halnya juga dengan Tebu Ireng, Krapyak dan lainnya. Mereka secara ngga sengaja dan alamiah sedang membangun nama menggunakan teori branding. Apalagi Gontor mempunyai program khusus yang dikenal dengan spesialis bahasa Inggris dan bahasa Arab. Semakin lengkap variabelnya.

Dan Sintesa terus berjalan dengan program-programnya. Alhamdulillah sekarang sudah berjalan selama kurang lebih 2 tahun. Orang-orang terdekat yang tadinya ragu dengan term Sintesa, alhamdulillah sekarang juga pede menyebut nama itu ke orang lain seraya menceritakan dengan penuh antusias.

Kalau memang kontennya jelas, tidak usah ragu untuk dijalankan. Yang penting berusaha untuk konsisten dan ngga mood-moodan.

Tidak ada pesantren lain yang bernama Sintesa. Ketika disebutkan Pesantren Sintesa orang sudah otomatis mengasosiasikan ke hal yang spesifik, bahkan bisa membayangkan para santri itu ngapain aja di pesantren, dan alumninya seperti apa.

***

Contoh nama lain ya liat saja perusahaan-perusahaan besar, pasti kamu baru ngeh setelah baca materi ini. Dan kamu akan bergumam, Oh iya ya, mereka pakai nama yang ngga ada artinya, ngga nyambung, ngga bertuan, tapi bisa dibaca dan dieja dengan baik (spell).

Hal selanjutnya yang harus kamu kuasai adalah strategi pemasaran yang efektif di era internet. Percuma juga nama bagus tapi cashflow lemah.

Nah, mulai sekarang jangan lagi mencurahkan energi yang tidak tepat ketika membuat nama untuk brand kamu. Pakai rumus variabel di atas. Bahkan kamu sebenarnya ngga perlu menanamkan idealisme di nama, karena kamu bisa menanamkan idealisme di konten (program, target, dll), dan ini lebih penting untuk dipikirkan.

Gitu aja ya. Semoga mangfangat.