Sebenarnya disini tidak hanya fokus membahas tentang efek dari sebuah teknologi bernama Google. Namun lebih luas terhadap Internet secara keseluruhan, tapi sepertinya kurang tepat juga kalau saya katakan “keseluruhan”. Ya, intinya kalau kamu berkenan membaca artikel ini, maka kamu akan tahu apa yang akan saya bahas di sini. Judul di atas hanya salah satu trik saya untuk meningkatkan SEO terhadap blog ini :peace: dengan mendompleng nama besar seperti Google, tentu sedikit banyak berpengaruh terhadap blog saya. CMIIW.
* * *
Well, cukup dengan membuka Google, kita bisa mencari informasi teman lama, menemukan artikel online, data buat menyusun makalah, bahkan skripsi, atau mencari informasi-informasi lainnya. Yang saya ketahui, kebanyakan orang (teman-teman saya) akan membuka Internet ketika dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan sulit. Berdasarkan beberapa sumber yang saya baca, mereka yang sudah ketergantungan dengan mesin pencari memiliki tingkat yang lebih rendah dalam mengingat informasi itu sendiri dan yang lebih diingat adalah di halaman mana ia mendapatkan informasi tersebut.
Contoh, ketika saya mencari informasi tentang “Optimasi kode PHP” misalnya, maka yang paling saya ingat adalah di website mana saya mendapatkan informasi tersebut. Jadi ketika saya lupa dengan beberapa poin penting yang ada dalam artikel dari suatu website, maka dengan otomatis memori otak akan bekerja dengan perintah “Dimana saya mendapatkan informasi ini?”. Kurang lebih seperti itu.
Internet telah menjadi memori eksternal atau transaktif, di mana informasi disimpan secara kolektif di luar diri kita. Efek horisontal dari aktifitas candu ini adalah menyusutnya ukuran otak yang disebabkan oleh jarang terpakainya otak dalam aktifitas normal sehari-hari (mengingat, berfikir, merumuskan masalah, dll). Adictive, kecanduan akan sebuah mesin pencari telah mengakibatkan seseorang untuk tidak menghargai sebuah ilmu.
Tentu hal ini sangat nyambung dengan latah manusia yang selalu merespon kata “gratis” atau “free”. Manusia era modern lebih menyukai hal-hal yang instant. Jadi, ketika Internet menawarkan yang gratis plus instant, dengan tanpa ba-bi-bu manusia akan menerima hal itu seutuhnya.
Teknologi diciptakan memang bertujuan untuk memudahkan, tapi bukan untuk membuat candu ataupun ketergantungan. Masalahnya adalah, kita tidak pernah sadar sepenuhnya ketika perlahan-lahan kita dibawa dalam garis kecanduan tersebut. Yang kita tahu tiba-tiba kita sudah berada dalam kubangan candu.
Mungkin, kecanduan Internet belum menjadi sebuah isu masalah besar tentang kesehatan untuk saat ini. Tapi, (menurut saya pribadi) suatu saat akan menjadi suatu hal yang bisa dijadikan alasan bagi seorang dokter untuk memberikan nasihatnya pada pasien yang datang pada mereka, untuk sekedar konsultasi (pencegahan) ataupun berobat (penyembuhan).
Tapi yang jelas, kecanduan Internet adalah perilaku berulang yang dilakukan untuk memuaskan keingintahuan. Bisa berupa informasi, notifikasi FB, respon atau tanggapan dari sebuah aktifitas (menulis) yang kita lakukan dalam sebuah komunitas di Internet (bisa blog, jejaring sosial, dll). Yang mana, ini dapat merusak kesehatan otak dan kehidupan seseorang secara perlahan. Terkadang untuk menghentikannya sangatlah sulit. Mungkin untuk sebagian besar orang, apa yang saya katakan dalam bentuk tulisan ini bukanlah suatu hal yang rasional. Saya mencoba maklum dengan kamu yang tidak sepakat dengan apa yang saya jabarkan. Tapi ada beberapa hal yang sepertinya perlu untuk pembaca ketahui, simak lebih lanjut tulisan ini.
Kemenciutan otak menurut beberapa sumber (yang Insya Allah terpercaya, referensi saya cantumkan dibagian bawah catatan ini) yang saya baca bisa berimbas pada berkurangnya daya pikir dan daya ingat manusia. Tiga orang ilmuwan dari Columbia University dan Harvard University mengungkap rahasia pengaruh Google terhadap kemampuan otak manusia untuk mengingat informasi.
Penetrasi internet yang sangat tinggi di negara-negara maju, dan populernya mesin pencari seperti Google dan Yahoo! menyebabkan informasi menjadi milik siapa saja. Siapapun, tak peduli umur dan tingkat pendidikannya, bisa mendapatkan informasi tak terbatas yang tersedia di dunia maya dan dihidangkan kepada kita melalui mesin-mesin pencari.
Untuk apa bersusah payah mengingat Informasi yang (katanya) ‘penting’ itu, jika suatu saat ketika dibutuhkan maka tinggal panggil Google? Alih-alih menyibukkan otak untuk mengingat sebuah informasi, lebih baik menyibukkan otak untuk aktifitas lain. Padahal kita tahu, bahwa salah satu olahraga untuk menstimulus otak adalah dengan meningkatkan daya ingat, menyerap informasi baik permanen ataupun semi-permanen. Dan apa yang terjadi ketika otak tidak dimanfaatkan untuk menyimpan informasi? Menciut.
Tiga orang peneliti dari Amerika yaitu Betsy Sparrow, Jenny Liu, dan Daniel Wegner melakukan eksperimen sederhana untuk melihat efek Google terhadap kemampuan mengingat otak manusia. Ada empat seri eksperimen yang dilakukan untuk menguji apakah otak manusia masih bisa menjalankan fungsinya untuk mengingat informasi jika otak kita tahu Google bisa menolongnya untuk mencari informasi yang dibutuhkan.
Dari serangkaian eksperimen tersebut mereka menjumpai indikasi bahwa otak manusia cenderung untuk melupakan informasi yang didapat jika mereka tahu internet akan dapat menolongnya untuk menemukan informasi itu di kemudian hari.
Para ilmuwan itu juga menemukan indikasi bahwa otak manusia akan mengingat lebih baik jika menyadari bahwa suatu informasi akan dihapus dan tidak disimpan di suatu tempat. Sebaliknya, otak akan mudah melupakan suatu informasi jika tahu bahwa informasi tadi tidak dihapus dan disimpan di suatu tempat. Dalam hal ini adalah Google, seperti yang sudah saya tulis di atas, sebagai alat penyimpanan informasi secara transaktif.
Dan akhirnya, juga ditemukan indikasi bahwa otak manusia kini lebih suka mengingat bagaimana mencari informasi yang dibutuhkan ketimbang mengingat informasi itu sendiri. Misalnya jika kamu ditanya “apakah negara yang memiliki hanya satu warna pada benderanya?”, saya yakin kamu akan segera mengetik di Google “country one color flag”. Jawabannya: Libya. Jika pertanyaan yang sama ditanyakan 5 tahun lagi, kamu mungkin sudah lupa jawabannya tetapi tidak lupa kata kunci yang digunakan untuk mencari informasi tersebut melalui Google.
Internet telah mengubah cara otak manusia berpikir. Informasi kini telah menjadi milik bersama secara kolektif dan bisa diakses kapanpun. Tidak ada lagi gambaran orang berpengetahuan seperti cerita-cerita klasik. Orang tua duduk di kursi dalam ruangan perpustakaan berdinding kayu dan dikelilingi ribuan buku.
Kini siapapun bisa menjadi orang berpengetahuan. Tidak perlu ribuan buku. Cukup seperangkat komputer (yang ukurannya semakin mengecil) yang terhubung dengan internet.
Konsekuensinya tentu saja manusia akan semakin pintar dari segi tereksposnya ia dengan pengetahuan (knowledge). Tetapi dari segi mengingat (memorizing), Internet telah mengubah cara otak bekerja. Manusia zaman kini semakin sedikit mengingat. Selain karena arus informasi yang semakin deras sehingga semakin susah untuk mengingat kesemua informasi itu, juga karena ketersediaan informasi secara instan melalui mesin pencari seperti Google.
Salah satu fungsi penting otak manusia adalah untuk mengingat. Jika manusia di masa kini dan masa depan semakin jarang mengingat informasi dan menyerahkan sepenuhnya pada Paman Google, apakah itu berarti di masa depan anak-cucu kita akan memiliki otak yang lebih kecil?
* * *
Internet mulai populer di Indonesia, baru beberapa tahun belakangan ini. Kisaran kuartal ke dua tahun 2008. Dan semakin membooming setelah Facebook membombardir Indonesia di awal tahun 2009.
Dulu, perpustakaan merupakan tempat yang populer bagi orang yang haus akan pengetahuan. Beberapa juga karena tuntutan dari pihak lain agar yang bersangkutan bergegas ke perpustakaan. Tetapi kini berbeda, orang tidak lagi perlu bersusah payah berjalan (atau mengendara) menuju perpustakaan. Cukup one click away, maka apa yang kita cari bisa tersaji tanpa perlu repot gono-gini.
Internet buka 24 jam nonstop. Tak perlu beranjak pergi. Internet seperti pasar bebas. Informasi apa saja yang kita cari, di Internet ada. Tak perlu repot menghampiri katalog buku di Gramedia ataupun Togamas dan merogoh koceg jika hanya sekedar mencari sejarah sebuah Negara, atau tentang biografi tokoh tertentu, atau tips kesehatan, dan lain-lain. Jangankan informasi bermanfaat, bahkan informasi ‘sampah’ pun banyak bertebaran di Internet. Berita hoax, konten pornografi, kalimat umpatan, konten kekerasan, menyerang pihak tertentu, dan lain-lain.
Apa solusi terbaiknya?
Hingga saat tulisan ini saya tulis pun, saya belum bisa menyimpulkan rumusan terbaik untuk sebuah solusi yang solutif terhadap permasalahan pelik (yang terlihat sederhana) ini. Namun yang pasti, kesadaran untuk mengubah pola mencari informasi perlu sedikit dirubah. Mindset bahwa “Segala informasi bisa didapatkan di Google” harus sedikit dirubah. Bukan hanya untuk mendapatkannya, tapi bagaimana caranya supaya informasi itu juga bisa masuk ke dalam memori otak kita, bukan sekedar sebagai angin lalu.
Kalau saya pribadi, saya memanfaatkan kebiasaan saya dalam menghafal Hadits dan Qur’an, setidaknya ini sedikit membantu saya dalam mengimbangi aktifitas saya dalam dunia Internet. Mempertahankan supaya otak saya tidak menciut, hehe.
Mungkin ini saja sedikit pengetahuan yang bisa saya bagikan. Semoga bermanfaat dan memberikan kita kesadaran dalam batas-batas dalam berfikir dan beramal. Bukan hanya untuk kita, tapi juga untuk generasi setelah kita.
Referensi yang pernah saya baca:
– http://www.sciencemag.org/content/333/6043/776.abstract
– http://www.psychologytoday.com/blog/therapy-matters/201107/the-google-effect
– http://www.ibtimes.com/articles/181620/20110716/google-effect-changes-to-our-brains.htm