Menjadi Seorang Public Speaker Itu Seru

Ibrahim Vatih
7 November 2011

Ya, penyakit ini berlangsung hingga usia 17 tahun. Dan bagi saya hal ini cukup menjadi penghambat dalam melakukan pengembangan diri. Hingga akhirnya saya terjebak dalam situasi di mana saya harus tampil di publik.

Pengalaman pertama saya adalah menjadi Imam Tarawih di sebuah masjid perumahan di daerah Magetan. Saya sangat grogi, hingga kaki saya bergetar. Sedikit beruntung karena bacaan yang saya baca adalah bacaan yang sudah diluar kepala, kalau tidak, mungkin bisa lain ceritanya. Bisa banyak failure terjadi di sana.

Berbagai peristiwa tanpa skenario itu semakin sering terjadi. Saya sering diminta untuk menjadi Imam Sholat dalam kondisi dan momen tertentu. Dengan todongan yang juga tidak mungkin bagi saya untuk menghindar. Hampir semua kejadian itu selalu terselip kalimat skak-mat, “Tidak ada penggantinya lagi”. Bagaimanapun, akhirnya selalu saya yang tampil.

Berlanjut ke acara kecil-kecilan. Lagi-lagi mendapatkan jatah untuk tampil di publik. Membacakan ayat-ayat langit pada acara-acara tertentu. Mulai dari halal bi halal di komunitas pengajian bapak-bapak dan ibu-ibu.

Pernah ada kejadian unik, di mana saya diminta untuk mengantar seorang pemateri dalam sebuah acara buka bersama, yang tak lain pemateri itu adalah ayah saya sendiri. Setibanya di lokasi, saya ikut membawakan perlengkapan yang akan digunakan pemateri. Laptop, proyektor, dan selebaran berisi materi singkat. Begitu selesai meletakkan barang-barang itu dalam sebuah ruangan, tiba-tiba panitia menyuruh saya untuk membacakan sebuah ayat langit dalam sesi pembukaan. Dengan alasan mereka belum menemukan orang yang bertugas.

Dilanjut kemudian berbicara dalam sebuah rutinitas asrama bahasa inggris di Pare, Kediri. Ada aktifitas mingguan bertema debate-club. Intinya, saling mengemukakan argumen, dan tentunya speak in english. Meski banyak ucapan-ucapan yang kacau secara tata bahasa, sing penting ngomong.

Hingga pertama kali saya tampil dalam sebuah acara Talkshow Bareng Forum Ikhwah Gaul di Madiun. Saya menjadi salah satu narasumber di sana. Tepat pada saat itulah, saya mulai merasa ketagihan menjadi seorang public speaker. Bagaimana tidak? Betapa dahsyatnya menyampaikan sebuah wacana dan opini yang bisa didengarkan sekaligus menyihir banyak orang. Asik!

Semua mengalir begitu saja, hingga akhirnya mulai sering tampil dalam forum-forum, acara-acara, memenuhi undangan, ini dan itu. Meski saya sendiri mengakui bahwa saya masih banyak kekurangan dalam menerapkan seni berbicara, terlebih di hadapan banyak orang. Butuh sebuah kekuatan kharisma untuk bisa menaklukkan audience. Bukan dengan apa yang kita sampaikan, tapi bagaimana caranya supaya mentalitas kita tidak menggigil di hadapan ratusan atau bahkan ribuan pasang mata.

Terakhir kali saya tampil dalam sebuah forum terbuka (hingga tulisan ini ditulis) adalah saat saya melakukan presentasi singkat tentang Media bernama Fimadani pada acara Sarasehan Nasional Aktivis Dakwah Kampus di UGM.

Menjadi Seorang Public Speaker Itu Seru

Dalam presentasi itu saya menjelaskan tentang apa itu Fimadani dan bagaimana cara Media ini bergerak, juga menjelaskan bahwa Fimadani adalah media terbuka bagi umat muslim, dan siapapun bisa menjadi bagian dari Fimadani.

Peserta yang tercatat dalam nota panitia ada tidak kurang 1300 orang dari berbagai kota di Indonesia. Meski pada saat saya bicara itu yang hadir tidak semuanya. Juga meski tidak lama saya berbicara, tapi efek setelahnya cukup luar biasa. Pengunjung dan LIKE-ers Fimadani di Facebook semakin bertambah.

* * *

Ada juga undangan untuk mengisi sebuah acara Talkshow Bareng Uswah Student Center.

Menjadi Seorang Public Speaker Itu Seru

Dalam acara tersebut, saya banyak bercerita tentang pengalaman dalam mengambil keputusan dan kebijakan hidup. Bagaimana menyikapi pergaulan muda yang kini semakin berantakan, dan memberikan motivasi bagi para audience untuk berani tampil beda. Yang intinya, saya menyampaikan tentang kepemudaan dan kawan-kawannya.

Masih banyak lagi kesempatan-kesempatan yang pernah saya lakukan untuk berbicara di depan banyak orang. Sebuah rasa puas dan lega selalu saya rasakan setelah memnafaatkan momen-momen tersebut.

Ketika saya memutuskan untuk membuat Pelatihan Web Programming secara GRATIS, saya mendapat pertentangan dari salah seorang saudara saya. Menurutnya, hal itu tidaklah baik. Tidak baik untuk kedua pihak, baik pemateri maupun yang diberikan materi. Karena menurutnya ada teori sebab akibat. Yang jika diberikan secara gratis, maka akan berefek begini dan begitu. Namun saya tetap berkeyakinan bahwa apa yang saya putuskan itu adalah tepat. Ini terkait dengan diri saya sendiri secara khusus. Saya butuh objek untuk melakukan pengembangan diri. Saya butuh itu. Terkait dengan apakah itu nantinya akan bermanfaat untuk mereka yang mengikuti program tersebut atau tidak, saya hanya berusaha memberikan yang terbaik. Dan semuanya kembali pada pribadi masing-masing.

Saya hanya bersyukur ketika ide-ide itu bisa mendapatkan sambutan yang baik dari mereka yang memang berniat untuk belajar bersama.

Dan kalau dipiki-pikir, ini juga sebuah lompatan besar bagi saya, dimana saya bisa melakukan pengembangan diri secara GRATIS, mendapatkan relasi baru, mendapatkan pengalaman baru, pengetahuan baru. Ada titik di mana semua itu memaksa saya untuk bisa ini dan itu. Dan memang selalu seperti itu.

* * *

Yang dulunya saya tidak pernah menyangka bahwa saya (akhirnya) bisa tampil go public, setelah sebelumnya saya merasa sangat terpuruk dengan kondisi mental saya yang sangat lemah dan pemalu. Saya sempat membayangkan tentang masa depan saya yang carut-marut ketika dulu mendapati bahwa saya berada dalam zona yang gelap dan takut dalam berinteraksi. Namun, sekarang saya mulai menemukan intonasi yang menarik dalam menikmati semua itu.

Sekarang, saya hanya mencoba memperkaya diri dengan ilmu-ilmu yang saya sukai. Pepatah mengatakan bahwa teko mengeluarkan sesuai apa yang ada di dalamnya. Jika kita ingin tampil menjadi salah satu pioneer dalam menyampaika sesuatu yang kita sukai, maka langkah konkritnya adalah dengan terus memperkaya diri untuk hal-hal yang ingin kita bagi tersebut.

Tentunya ilmu-ilmu itu harus dibuktikan dengan pengalaman, hingga akhirnya muncul pati sari yang terbaik untuk dibagikan pada banyak orang.

Menjadi seorang public speaker itu seru, akan membuat kita ketagihan. Saya yang dulu tidak percaya dengan kondisi saya saat ini saja bisa membuktikannya, bagaimana dengan kamu?