Wajah Pendidikan Indonesia

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

~ UU No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS

Untuk menuliskan judul diatas, sebenarnya saya merasa sangat geli. Ya, sangat geli terhadap apa-apa yang ada dalam pikiran saya ketika saya menuliskan judul tersebut. Well, tapi lupakan tentang apa-apa yang saya pikirkan, khawatir kamu pun membayangkan apa yang saya bayangkan. Haha.

Di sini, saya mau sedikit membahas tentang dunia pendidikan di Indonesia yang sudah menjadi barang komoditi dan sudah tak layak untuk dijadikan sandaran utama.

Saya sudah beberapa kali menerima email yang berisikan tentang reaksi makhluk-makhluk di dunia maya yang (mungkin) geregetan membaca catatan-catatan saya tentang sekolah. Ada yang (mungkin) kagum, sebel, menilai saya negatif secara sepihak, dan menganggap saya skeptis. Dan bermacam ungkapan lainnya.

Tidak perlu saya jelaskan lebih lanjut sepertinya kamu sudah sering mendengar, menonton dan membaca berita ada anak sekolah yang mati bunuh diri karena tidak lulus ujian nasional. Mendengar berita itu saja sudah bikin muak dengan sistem pendidikan kita. Terdengar skeptis, tapi kamu sepakat bahwa semua ini gara-gara budaya yang menomorsatukan sekolah dan kuliah. Jangan dulu membawa nama agama, karena toh dari dasarnya sudah menomorsatukan sekolah, dan kita tahu bahwa mata pelajaran untuk rohani di sekolah hanyalah sebatas pengetahuan, dan bukan sebagai dasar. Lebih parah lagi yaitu komersialisasi pendidikan yang benar-benar diskriminasi untuk orang yang tidak mampu. Yang lebih nelongso adalah sekolah mahal-mahal, kuliah mahal-mahal, dan bukan hanya materinya saja yang digembosi tapi juga tenaga dan pikiran. Ujung-ujungnya kerja hanya untuk ngejar UMR. Siapa lagi yang harus disalahkan?

Terjebak dalam sistem yang carut-marut. Fakta di atas hanyalah sekelumit dari kisah pilu potret pendidikan di negeri ini.

Semua itu akan berujung pada nilai. Kalau mau lulus syaratnya nilai, kalau mau lanjut ke pendidikan yang lebih tinggi atau melamar kerja harus punya nilai, mau beasiswa harus punya nilai, dan lain-lain. Lalu, mengapa hati, kreatifitas, emosi, budi pekerti, dan lain-lain tidak mendapatkan apresiasi? Jadi, ya wajar saja ketika siswa, guru, dan pihak sekolah ada yang berusaha sekuat tenaga agar siswanya dapat nilai bagus dengan menghalalkan berbagai cara. Kalau murid mendapatkan nilai tidak bagus, guru yang akan jadi kambing hitam. Kalau sudah begini akan meluber pada pembicaraan masalah baru.

– Banyak Siswa Bunuh Diri, UN Jalan Terus

“Saya ikut prihatin dan sedih dengan banyaknya yang bunuh diri akibat UN. Bagaimana mungkin daerah yang berbeda-beda disamakan ujiannya. Ini tidak adil. Karena itu harus ada perbaikan.” ~ Agung Laksono

Banyaknya siswa yang tak lulus UN, membuat sejumlah siswa memilih melakukan tindakan nekat. Mulai dari mencoba bunuh diri, merusak sekolah, hingga mengadukan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

Siswi SMA Pancasila 1, Wonogiri Virginia Endah, salah satu contohnya. Dia bahkan nekat menenggak cairan pengharum ruangan, meski hasil UN belum diumumkan secara resmi. Beruntung, neneknya segera tahu, sehingga korban masih sempat dilarikan ke rumah sakit.

Kisah tragis juga menimpa seorang siswi berprestasi SMKN 3 Muara Jambi, Wahyu Ningsih. Gara-gara tidak lulus UN, Wahyu Ningsih yang akrab dipangil Neneng, nekat mengakhiri hidupnya dengan memakan obat pestisida. Kawan-kawannya kaget dan sangat kehilangan. Korban dinilai sebagai anak yang cerdas, ceria, humoris, serta senang membaca di perpustakaan yang ada di dekat rumahnya, di Desa Muara Jambi, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi.

Neneng ditemukan kakaknya, Haris dalam kamarnya, sekitar pukul 17.00 WIB dalam kondisi sekarat, dan mulut berbuih. Lalu keluarganya membawa ke rumah sakit di Kota Jambi. Namun sayang, nyawa Neneng tidak tertolong. Gadis malang itu mengembuskan napas terakhirnya di tengah perjalanan.

Menurut pihak rumah sakit, Neneng diduga tewas setelah memakan bubuk pestisida jenis Diktan M-45. Indikasi ini diperkuat setelah pihak keluarga menemukan pestisida tanaman itu dalam kamarnya. Pihak kepolisian sedang menyelidiki kasus kematian Neneng ini.

Sementara di Ternate, gara-gara dinyatakan tak lulus UN, siswa SMUN 1 Ternate menyerang sekolah. Ratusan siswa SMUN 1 Ternate, mengamuk dan merusaki sekolah mereka yang terletak di kawasan jalan Ki Hajar Dewantara, Takoma, Ternate Tengah. Mereka kecewa dinyatakan tak lulus dan merusak sejumlah fasilitas sekolah, usai mendengar pengumuman hasil UN.

Usai pengumuman UAN, sekolah bertaraf internasional itu mencapai hasil yang mengejutkan di mana kurang lebih 514 siswa ini dinyatakan tidak lulus. Dari total 617 siswa yang terdaftar mengikuti UN di SMU ini, hanya tercatat 103 siswa yang berhasil lulus UN.

Sedangkan di Yogyakarta, siswa Jurusan IPS SMAN 9 Yogyakarta, Yondi Handitya (18), terpaksa harus menerima pil pahit setelah dinyatakan tidak lulus. Alasan ketidaklulusan Yondi dikarenakan nilai akhlak mulia serta kewarganegaraan dan kepribadian masing-masing mendapatkan nilai C. Merasa tidak terima dengan keputusan yang diberikan pihak sekolah, Yondi kemudian mengadukan permasalahan tersebut ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Yondi tergolong siswa yang pintar secara akademik di sekolahnya.

Hal ini terbukti dari nilai UN dan Ujian Sekolah (Usek) yang ditempuhnya cukup memuaskan, yakni 50,70 dan 49,53. Karena kasus tergolong “unik”, dia hanya memperoleh dua alternatif, yakni terpaksa mengulang satu tahun atau mengikuti kejar paket C.

Menurut Yondi, kemungkinan alasan yang digunakan pihak sekolah untuk tidak meluluskannya karena kejadian yang dialami saat dia kelas dua. Waktu itu dia memakai kaus oblong ke sekolah. Karena diperingatkan oleh salah seorang guru, ia bermaksud meninggalkan sekolah. Namun, saat dia berjalan, tiba-tiba pipinya ditampar oleh salah seorang guru fisika dan secara spontan dia mengeluarkan kata-kata kotor.

Direktur LBH Yogyakarta M Irsyad Thamrin menuturkan, pihaknya sudah mendatangi SMAN 9, tapi tidak berhasil bertemu langsung dengan kepala sekolah. Kepala SMAN 9 Hardja Purnama membenarkan ketidaklulusan siswanya tersebut. Keputusan yang diambil sekolahnya sudah sesuai dengan Prosedur Operasi Standar (POS) UN. Hardja pun menjelaskan, sejak kelas XI, Yondi memang sudah bermasalah batasan poin perlakuan negatif di sekolah maksimalnya 101 poin, sedangkan angka Yondi sudah mencapai 200 poin.

Meski banyak masalah dari mulai perusakan sekolah sampai aksi bunuh diri gara-gara tidak lulus, pemerintah akan tetap memberlakukan UN.

Ganti Kurikulum, Ternyata Sama Aja..

Para murid kita masih sangat ketergantungan pada guru. Tanpa perubahan perilaku guru dalam mengajar, perubahan kurikulum hanya perubahan nama saja.

Pergantian kurikulum adalah hal yang wajar terjadi karena kurikulum harus mengikuti perkembangan zaman.

Kurikulum pendidikan Indonesia sudah beberapa kali mengalami pergantian. Mulai dari kurikulum ’75, ’84, ’94, ’94 Suplemen, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan kurikulum 2006. Belum ada ketentuan baku harus berapa tahun kurikulum diganti. Namun, pada prinsipnya pergantian kurikulum dilakukan untuk mengubah arah pendidikan agar sesuai dengan tuntutan zaman.

Efek perubahan kurikulum tentulah perubahan guru dalam mengajar. Perilaku guru pada kurikulum ’75 berbeda dengan perilaku guru pada kurikulum ’84, berbeda juga dengan kurikulum ’94 dan berbeda pula dengan ’06.

Faktanya kurikulum bergonta-ganti perilaku guru tidak mengalami perbedaan. Seperti kata syair lagu Iwan Fals “Zaman berubah perilaku tidak berubah.” Dalam bahasa pendidikan, kurikulum berubah perilaku guru tak berubah.

Diklat dan pelatihan yang dilaksanakan untuk sosialisasi kurikulum baru tidak pernah menjangkau perubahan perilaku guru secara menyeluruh. Diklat dan pelatihan hanya berujung pada Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Pelatihan (STTPL) dan sertifikat yang menandakan bahwa guru telah mendapat sosialisasi perubahan kurikulum tanpa ditandai dengan pemahaman apalagi perubahan perilaku.

Perubahan kurikulum bukannya mengubah wajah pendidikan menjadi lebih baik melainkan menjadi penyebab anomi guru-guru. Perubahan kurikulum sering ditandai dengan penerapan model mengajar, misalnya Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) adalah model belajar berciri khas yang pernah diperkenalkan.

Pada praktiknya bayak guru kehilangan fungsi tugasnya. Guru mengalami kesulitan untuk mengaktifkan murid dalam belajar. Murid tidak biasa belajar aktif. Mereka hanya bisa belajar jika ada guru. Itupun aktifitas belajarnya hanya melihat dan mendengarkan guru berceramah. Murid tidak pernah bertanya ataupun menjawab pertanyaan. Murid hanya bisa diam dan tersenyum. Budaya diam dan malu berbicara di muka umum adalah faktor mengapa mereka hanya melihat dan mendengar dalam belajar. Guru akhirnya mengalami kebingungan untuk mengaktifkan muridnya dalam belajar. Sementara tuntutan kurikulum, siswa harus aktif dalam belajar.

Dalam kondisi bingung, datanglah penerbit menawarkan Lembar Kerja Siswa (LKS). Dengan alasan bantu siswa untuk belajar aktif, LKS adalah alat bantu yang tepat untuk digunakan. Cukup dengan meneragkan sedikit, seterusnya murid akan belajar sendiri dengan bantuan LKS. Seperti diselamatkan dari kebingungan, guru cepat mengerti apa yang diajukan penerbit.

Untuk lebih menstimulus, guru menggunakan LKS, guru diberi rabat dari hasil penjualan LKS oleh penerbit. Kepada murid mereka bicara, “Demi kelancaran kita dalam belajar dan dapat membantu murid untuk belajar aktif, LKS ini wajib dimiliki oleh semua siswa.” Murid-murid tentu saja percaya apa yang dikatakan gurunya. Murid-murid menyerbu LKS dan guru senang karena rabat yang diterima memuaskan. Sejak saat itu, dengan alasan CSBA, guru menjadi ketergantungan pada LKS.

Dengan menggunakan LKS guru berhasil menerapkan metode belajar CBSA, bahkan kebablasan. dengan penggunaan LKS dan metode CBSA tugas guru menjadi lebih ringan. Guru hanya bertugas membagikan LKS dan murid aktif mengerjakan LKS dalam setiap pertemuan. Selesai belajar, LKS dikumpulkan. Minggu berikutnya guru memanggil ketua kelas dan menyuruh untuk melanjutkan pekerjaan LKS. Dalam satu semester LKS selesai dikerjakan oleh murid dan tak ada satu pokok bahasan pun yang diperiksa guru.

Ketika nilai akhir untuk pengisian rapor diminta, guru bersangkutan melirik guru sebelah untuk memastikan murid mana yang layak mendapat nilai baik dan murid yang layak mendapat nilai baik dan murid yang layak mendapat nilai rendah. Bahkan, ada guru yang berani mengambil nilai dengan menyerahkan kepada wali kelas atau copas nilai dari mata pelajaran lain dengan alasan hasilnya tidak akan jauh berbeda. Saking tidak pernah masuk kelas, ada guru yang tidak tahu mana anak yang sudah keluar atau pindah.

Setelah lama masa CBSA berlangsung, kini kurikulum berganti lagi dengan embel-embel berbasis kompetensi (KBK). Model belajar dalam kurikulum ini namanya lebih keren lagi. Dalam KBK, murid harus diajarkan melalui empat pilar pendidikan.

– Learning how to learn.
– Learning to do.
– Learning to life together.
– Learning to be.

Dalam pikiran guru, “Goodbye CBSA, kurikulum masa lalu.” Padahal kalau dipahami, CBSA adalah bagian dari learning to do. Namun di kalangan guru kalau ada yang membicarakan CBSA akan dianggap jadul dan tidak mengikuti perkembangan zaman. Pemerintah begitu gencar melakukan sosialisasi kurikulum baru. Diklat dan seminar terus dilakukan untuk memberi pemahaman guru tentang KBK.

Setelah sedikit mengerti akhirnya mereka sadar dan melecehkan KBK, “Ini sama aja dengan CBSA.” Lalu semua guru mulai mencela KBK dengan alasan prinsipnya sama dengan CBSA. Praktiknya mereka kembali pada LKS. Murid mengerjakan LKS dari pertemuan pertama sampai akhir. Fiuh!

Belum lama KBK diterapkan, kurikulum berubah lagi dengan nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Alasan pemerintah menggunakan kurikulum baru adalah untuk menyesuaikan dengan zaman yang sudah memasuki era otonomi daerah. KTSP memang sesuai dengan semangat otonomi daerah yang ingin menggali potensi daerah. Right, KTSP adalah model kurikulum yang cocok pada era ini. Tapi model belajar tidak berubah, tetap seperti CBSA dan KBK. Hanya saja kali ini baik guru dan murid sama-sama aktif.

Seperti tanpa perubahan, pada kurikulum ini pun penggunaan LKS masih bertahan. Ketergantungan dengan rabat? Who knows. Daripada buku, guru lebih senang menggunakan LKS. Kalau menggunakan buku, guru masih direpotkan dengan membaca dan memahami. Namun dengan LKS, guru bisa meninggalkan siswa kapan saja dengan catatan siswa mengerjakan LKS. Dari jarak jauh sekalipun, guru tetap bisa mengontrol, cukup dengan mengirimkan SMS pada ketua kelas, “Saya tidak bisa hadir, kerjakan LKS bab berikutnya.” Ketua kelas membalas, “LKS nya dikumpulkan pak?” Guru mereply, “Kumpulkan diatas meja saya.” Selesai.

Tidak tau apakah murid mengerjakan LKS atau tidak, tau-tau minggu depan LKS sudah menumpuk lagi di meja kelas dan akan dibagikan kepada siswa untuk dikerjakan lagi. Begitu seterusnya.

Sebenarnya perubahan kurikulum belum bisa mengubah perilaku belajar, baik murid maupun guru. Dampak perubahan kurikulum yang sangat penting adalah perubahan cara mengajar guru dan belajar murid. Para murid masih masih sangat bergantung pada guru. Tanpa perubahan perilaku guru dalam mengajar, pergantian kurikulum hanya perubahan nama.

Dalam hal ini, pemerintah hendaknya memberikan kontrol yang berkesinambungan. Fungsi pengawasan sangatlah penting. Kegagalan sosialisasi dan penerapan kurikulum sangat berkaitan dengan fungsi pengawasan. Tanpa itu, guru akan kembali ke habitatnya.

– Terobosan Yang Terlewatkan –

Banyak yang tidak memperhatikan sekeliling dan terlalu fokus mengikuti arus. Mungkin seandainya mau meluangkan sejenak waktu untuk mengintip sisi lain yang tidak populer, ternyata ada banyak terobosan yang sejatinya bisa dimanfaatkan dengan sangat efektif dan efisien. Segala daya yang dikeluarkan sebanding dengan apa yang didapatkan.

 

# Sekolah Bukanlah Satu-Satunya
kamu langsung sepakat ketika saya mengatakan demikian, tapi hanya sebatas mulut saja. Karena ujung-ujungnya akan kembali ke sekolah lagi. Right?

Ada begitu banyak lembaga-lembaga swasta yang menawarkan pendidikan gratis, dan kualitas pendidikan dengan output yang diberikan adalah lebih nyata dibanding dengan lembaga bernama sekolah.

Di sini saya akan bercerita sedikit tentang pengalaman saya dalam menjalani pendidikan non-formal. Mungkin sebagian dari kamu ada yang sudah membaca halaman Biography di blog ini yang di sana dijelaskan bahwa saya memutuskan untuk berhenti sekolah setelah tamat Tsanawiyah. Dan apa yang saya dapatkan? Banyak. Yang pasti tak jauh-jauh dari pendidikan bernuansa islami yang mana belum ada satu sekolahpun di Indonesia yang mampu memberikan fasilitas seperti ini. Setidaknya itu yang saya tahu, kalau dari kamu ada yang punya referensi minimal seperti yang saya sebutkan, boleh tuh.

Lalu bagaimana dengan pendidikan dalam bidang umum yang juga tak boleh ketinggalan yang terkait keahlian atau hobi atau bakat atau spesialisasi?

Kalau pertanyaan seperti itu ingin kamu sampaikan pada saya, maka saya akan bertanya balik seperti ini: “Kalau kamu sudah berpikir seperti itu, lalu untuk apa masih kekeuh dan bertahan men-dewa-kan sekolah yang mana jelas di sana tak mampu memberikannya?”

Pertanyaan yang dikembalikan dengan pertanyaan. Dan keduanya akan sangat sulit untuk dijelaskan dengan tulisan di sini. Sepertinya nurani kita bisa lebih bijak dalam menilainya.

#Seragam
You know, saya adalah orang yang paling ogah-ogahan kalau membahas seragam, apalagi seragam sekolah. Katanya untuk keseragaman, namun bagi saya keberagaman tetaplah yang utama. Dalam agama saya pun mengajarkan betapa indahnya keberagaman. Mungkin bagi kalian pemikiran saya tentang seragam sekolah ini agak bertele-tele. Okelah, hanya point utama di sini adalah bahwa seragam sekolah adalah tidak rasional bagi saya.

Cukup menjadi alasan seorang anak untuk mbolos hanya karena seragam belum kering, masih basah tersiram hujan. Mayoritas demikian.
Faktanya juga banyak seragam sekolah yang pada akhirnya dimodifikasi oleh anak-anak kreatif yang jiwa seninya tak mau dikekang. Mulai dari dicoret-coret kecil dibagian bawah ujung baju, hingga celana yang dipermak sampai berbentuk unik. Minoritas orang yang ‘berani’ merombak seragam sekolah, yakin bahwa yang lain tak melakukan ‘modifikasi’ karena takut dengan aturan sekolah. Haha.

Masih banyak sebenarnya yang ingin saya katakan tentang ketidakbermanfaatan seragam sekolah. Namun saya agak bingung menyampaikannya, haha. Lupakanlah!

# Program Paket C
Mungkin belum banyak yang tahu tentang program resmi dari Diknas ini. Atau mungkin sudah ada yang tahu, namun hanya sekedar tahu nama tapi tidak tahu jeroannya. Atau sudah mengenal luar dalam tapi menganggap bahwa paket itu tidak bergengsi.

Sayang sekali jika info berharga ini diabaikan begitu saja. Seorang dengan jiwa visioner akan melihat jauh ke depan, termasuk menyikapi tentang keberadaan sekolah dengan pandangan yang cukup kritis seperti saya (~haha). Saya melihat ada begitu banyak peluang yang bisa diambil dengan mengikuti Program Paket C.

Paket C membolehkan siswanya yang terdaftar hanya masuk saat ujian saja. Yang artinya tak perlu menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari hal-hal yang menurut data dan fakta adalah hal-hal yang kurang bermanfaat sebagian besarnya. Bahkan tidak ikut ulangan semester pun diperbolehkan. Intinya benar-benar hanya mengikuti ujian akhir.

Dengan waktu bermukim yang juga sama dengan sekolah reguler yakni 3 tahun, maka kita atau katakanlah saya pribadi bisa memanfaatkan waktu tersebut untuk melakukan hal-hal yang jauh lebih bermanfaat ketimbang sekolah. Mempelajari hal-hal yang saya sukai dan fokus di sana. Saya menyukai literatur bahasa (baik arab maupun inggris), menyukai hal-hal yang berkaitan dengan komputer (baik hardware maupun software ~yang paling saya kagumi adalah dunia webdeveloper), juga menyukai Al Qur’an terutama yang menyangkut tentang hafalan dan tafsir.

Saya hanya memfokuskan diri pada 3 bidang utama tersebut. Dan saya memiliki rasa kecenderungan yang lebih besar kepada 3 bidang tersebut ketimbang ilmu bidang lainnya. Atau bahasa singkatnya adalah saya menyukai 3 bidang tersebut. Itulah yang juga memudahkan saya dalam mempelajari semua yang berkaitan dengan 3 bidang tersebut.

Menghabiskan waktu 3 tahun hanya untuk 3 bidang.
Bandingkan dengan menghabiskan waktu 3 tahun dengan melahap 14 – 18 mata pelajaran. Yang mana dari sekian-belas mata pelajaran itu hampir semuanya dihandle oleh orang yang (ternyata) juga tidak menguasai ilmu yang mumpuni terkait apa yang akan mereka sampaikan.

3 tahun dengan 3 bidang yang pastinya juga uang pengeluaran lebih bisa disesuaikan tergantung alat-alat kebutuhan dari bidang masing-masing. Dan persentase hasil yang didapat kemungkinan besar bisa sebanding dengan apa yang dikeluarkan. Yakin!

Yaa, setidaknya saya sudah merasakannya. Pernahkah kamu mengikuti ujian sambil dengerin musik? Pernahkah kamu ujian akhir sambil ngobrol terang-terangan? Pernah makan sambil ngerjain soal ujian? Pernah nerima telpon sambil ketawa-ketawa di tengah berlangsungnya ujian? Percayalah, bahwa saya pernah melakukan itu semua. Asik? Pastinya. Tak ada beban. Kelulusan pun dijamin. Kok gitu? Saya sendiri juga sebenarnya ngga paham, tapi faktanya demikian :P

hal-hal uniq

Hari minggu atau tanggal merah adalah hari yang ditunggu-tunggu para siswa. Kalau mau jujur sih, ditunggu juga oleh para guru, pegawai negeri, dan pejabat.

Hari senin adalah hari yang dibenci kebanyakan siswa, karena harus berseragam lengkap, panas-panasan, hormat grak sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya ditengah teriknya matahari. Padahal itu belum seberapa dibanding Pahlawan kita dulu. Kalau terlambat datang ke sekolah untuk mengikuti upacara, biasanya mendapatkan hukuman dua kali lipat lebih ampuh dari hari-hari normal. Bukan hanya menulis skripsi dengan pengulangan kalimat yang sama; “Saya berjanji tidak akan mengulangi perbuatan saya.” tapi juga akan mendapat jatah membersihkan kerak-kerak di setiap sudut toilet siswa dan guru.

Mungkin ilustrasi di atas cukup mewakili gambaran umum tentang aktifitas contek-mencontek yang sudah turun temurun dari jaman ababil.

Berat sama dipikul, mudah sama dicontekan. Hal yang sudah lumrah sejak jaman mbaheula. Saling memberikan jawaban satu sama lain. Dengan alasan yang bisa bermacam-macam, maka praktek kolusi-nepotisme seolah menjadi pelajaran pokok di sekolah. Ya, meski secara tidak langsung, tapi percayalah bahwa hal itu akan tertanam kokoh dalam pikiran bawah sadar manusia.

Saya jadi teringat perkataan saudara saya yang sekolah di Jakarta, tepatnya MAN 13 Jakarta (timur), yang sempat dikunjungi Gubernur DKI sebelum menjalani UN 2011. Pak Fauzi Bowo mengatakan, “Jaman sekarang bukan jamannya contek-contekan. Itu adalah jamannya saya dulu.” Pernyataannya memang secara tak langsung mengatakan bahwa contek-mencontek sudah menjadi budaya bangsa yang wajib dipelihara demi keinginan luhur.

Melihat dari history dan keberlangsungannya sekarang, sepertinya budaya ini akan tetap langgeng diterapkan dalam aktifitas normal di sekolah.

Kerap terjadi cinlok a.k.a cinta lokasi di dalam sekolah. Kalau kata orang jawa “Witing tresno jalaran kulino”, Cinta itu tumbuh karena terbiasa (komunikasi & interaksi). Apalagi masa-masa sekolah adalah masa paling bergejolak bukan hanya mentalnya saja, banyak perubahan-perubahan baik fisik maupun psikis.
Asal orangtua menanamkan benih-benih kebaikan pada anak-anaknya sedari kecil, maka Insya Allah untuk melalui masa peralihan ini pun akan lebih mudah, tidak terombang-ambing, ikut-ikutan, ngekor, jadi bebek.

Ikut-kutan tidak masalah, selama yang diikuti itu adalah hal-hal positif yang justru berpotensi untuk mendatangkan lebih banyak kebaikan.

90% siswa senang jika guru tidak hadir. 98% siswa pernah mengerjakan PR di sekolah. 50% siswa akan bangga jika berhasil melanggar aturan sekolah. Kebanyakan Siswa baru belajar malam jika ada ulangan besok. Ujian Nasional merupakan hal yang menakutkan. Siswa akan lebih dekat dengan Tuhannya jika Ujian Nasional sudah dekat. Dan siswa akan kembali ke wujud semula jika sudah melewati Ujian Nasional.

Demikian ini sedikit uneg-uneg saya yang sengaja saya tumpahkan dalam bentuk Art Direction. Sambil belajar. Mungkin ada di antara kamu yang mesem ngguyu baca tulisan saya, tapi saya tahu bahwa tidak sedikit juga yang mencak-mencak dibuatnya. Tak mengapa, saya memahami para pembaca seperti halnya para pembaca juga memaklumi saya. Apapun itu, saya hanya berharap kamu nge-klik tombol LIKE Facebook atau Tweet di bawah ini. Hehe. Terimakasih sudah mampir di blog saya.

Related posts

18 comments

  • Wajah pendidikan di Indonesia… Apa yg anda paparkan membuat sisi lain dari smua paradigma kebobrokan pendidikan di Indonesia.. Saya pribadi sangat tidak suka dg apa yang berlaku trhdp sistem pndidikan saat ini… Seakan mendikte dan mnuntut tanpa tahu apa tujuan dari pndidikan trsebut… Apalagi kurikulum disusun tanpa memperhatikan kondisi di lapangan… Seakan kita hanya sebagai kelinci percobaan thd sebuah sistem yang kadang tidak jelas arahnya kemana…
    Siswa diharuskan utk belajar bnyk pelajaran tanpa mereka paham ttg apa yang mereka pelajari dan bagaiman aplikasi real di dunia nyata… Dan ditambah bobroknya dg sistem UN yang pnuh skenario seakan2 UN sbgai pnentu masa depan seseorang…
    Apakah siswa trsbut hanya dinilai dg UN dan nilai d sekolah tanpa adanya pemahaman thd yang mereka pelajari… Sungguh suatu keadaan yang miris thd dunia pendidikan indonesia

  • asiik.. sepokat gan! :D

  • basi ah, ini muluk

  • wajah pendidikan ibarat dua sisi mata uang, yang tidak bisa saling dipisahkan… fakta-fakta yang saudara paparkan memang benar terjadi, tapi jauh melebihi itu banyak pula kebaikan dari kemajuan pendidikan yang telah ditorehkan. Mulai dari prestasi perlombaan tingkat internasional sampai usaha memasuki pendalaman, dan hal lainnya. Pun dengan alasan kenapa pendidikan kita blm bs maju-maju.. yang jelas alasan sistemik tidak bisa dilepaskan bgitu saja dalam analisis kita.. keep fight! ^^

    • A

      Intinya memang ada pada sistem. Jika masih diintervensi oleh oknum-oknum yang ngga jelas. Maka jangan harap bahwa sekolah akan bisa lebih baik. Salah-salah jadi barang komoditi untuk praktek-praktek permainan uang.

  • Segera dibukukan Gan..
    Ditunggu karyanya..

    Rekomendasi jadi menteri pendidikan nih :D

    • A

      Buku menyusul pak, saya masih mau cari bahan di negara-negara maju. Coba cari perbandingan dulu.

      Haha, saya sepertinya tidak tertarik jadi Menteri Pendidikan, tapi kalau jadi konsultannya boleh deh ^^

  • banyak pendidikan alternatif yang bisa kita ambil, sesuaikan saja dengan “ap yang ingin kita cari” dalam pendidikan.
    dan banyak cara untuk belajar..

    • A

      Nah, saya emang lebih demen yang model ini. Menyesuaikan dengan apa yang ingin kita cari.

  • Saya tahu tulisan ini sebenernya di buat oleh orang yang cerdas. Tapi terkesan sekali seperti hanya pembelaan terhadap diri sendiri dengan mencantumkan berbagai bukti-bukti nyata. Sangat wajar apa bila ada orang yang berpendapat “tulisan ini mengambil sudut pandang yang sempit sekali, bahkan di dalamnya terkesan sang penulis lebih pintar dari semua orang yang sekolah, kesannya, jalan hidup si penulislah yang paling benar, yang lain salah”.
    Kalau sudah seperti itu, sebagian orang akan berpikir dua kali untuk berteman dengan Anda, karena bagi sebagian orang, Anda selalu merasa lebih tinggi di banding Dia.

    Mungkin tujuan tulisannya bagus, tapi penyampaian dengan cara seperti ini menurut saya lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya.

    Kalo berpikir “terbuka”, banyak orang yang bersyukur bisa sekolah di daerah-daerah pelosok, Yang membuat mereka sedikit lebih maju dari pada orang tua mereka.

    Kalo berpikir “terbuka”, banyak juga orang yang merasa tidak terbebani sama sekali untuk sekolah, karena mereka mencintai itu.

    Mungkin, sistem sekolah yang sekarang jauh dari harapan banyak orang. Tapi dengan “Alergi” dengan “sekolah” apakah bisa mengubah sistem?, dengan memberitahukan kebobrokan sekolah ini apakah bisa mengubah sistem?, mungkin yang ada hanya alternatif-altenatif yang bersifat perseorangan, atau tidak bisa semua orang menggunakan alternatif tersebut.

    Mungkin saja orang yang berhasil setidaknya memperbaiki sistem sekolah nanti berasal dari orang yang sekolah, orang yang sarjana?

    Mohon maaf sblumnya..

    • A

      Hi, Sujia. Tengkiu sudah membaca tulisan ini, dan memberikan tanggapan terhadapnya.

      Pertama, saya sudah terbiasa berada dalam posisi serba salah, jika berbicara tentang hal ini. Kedua, komentar Anda di sini hanya nyerempet sedikit tentang tulisan ini, dan lebih mengomentari penulisnya. Ketiga, berpikir terbuka antara Anda dan saya ternyata jauh berbeda. Itu saya simpulkan dari apa yang Anda tuliskan.

      Oke. Kita sepakat bahwa testimoni atau output selalu jadi patokan bukan? Tapi ternyata ada faktor yang lebih cocok dijadikan acuan selain output; Progress.

      “Jangan melihat apa yang ia hasilkan, tapi lihatlah bagaimana ia mampu menghasilkannya.”

      Well, saya sebenarnya tidak perlu menuliskan target-target pencapaian saya dalam tulisan di atas. Tapi kemudian saya kembali berpikir, bagaimana caranya memberikan dan membeberkan fakta kalau tidak saya sertakan itu?

      Ibaratnya jika Anda ditanya orang, “Ngapain aja selama ini?”
      Tentunya hal itu pula yang secara tak langsung akan tertancap dalam benak seseorang ketika ada orang yang bercerita dan bertele-tele tentang dunia pendidikan.

      Saya bicara demikian, karena juga sudah banyak yang bertanya, “Selama ngga sekolah, ngapain aja?” atau “Terus sekarang aktifitasnya apa?”

      Ketika Anda berada pada posisi saya, apa yang alan Anda lakukan? :)
      Di bagian paling atas juga sudah saya singgung bahwa banyak email yang masuk terkait tulisan-tulisan saya lainnya. Dan tulisan kali ini adalah bentuk kesinambungan dari itu semua.

      Oke, saya pikir hal ini tidak terlalu pokok untuk diargumentasikan.

      Untuk berbicara pemikiran terbuka, saya sebenarnya sudah capek juga. Kalau mau tambahan-tambahan lainnya bisa Anda buka halaman YouTube ini: College Conspiracy

      Sekedar info bahwa yang membuat video dokumenter tsb adalah Lembaga Amerika yang mempunyai misi dalam bidang Pendidikan. Selengkapnya bisa disimak sendiri.

      Komoditi, konspirasi, legalisasi, dan lain-lain.

      Terkait dengan kutipan Anda yang ini:
      “Mungkin saja orang yang berhasil setidaknya memperbaiki sistem sekolah nanti berasal dari orang yang sekolah, orang yang sarjana? ”

      Saya di sini tidak mengajarkan untuk berhenti mengejar formalitas, hanya memberikan gambaran bagaimana saya menjauhkan diri dari kegiatan formal-nya. Jadi jangan heran kalau saya pun tercatat dalam data-data Diknas, sekolah, dan perguruan tinggi.

      Hehe, santai saja meladeni orang macem saya. Kita di sini sharing, berbagi pengalaman, dan saling mengemukakan pendapat.

      • Yup, emang bener banget. Orang2 yg nggak sekolah selalu dicibir. Padahal nggak sekolah itu adalah pilihan, bukan karena miskin atau bodoh.

        Orang2 nggak sekolah seperti saya jadi terbiasa dalam posisi ‘bertahan & melawan’ menghadapi cibiran2 itu.

  • Saya suka kesimpulannya, haha.

    “90% siswa senang jika guru tidak hadir. 98% siswa pernah mengerjakan PR di sekolah. 50% siswa akan bangga jika berhasil melanggar aturan sekolah. Kebanyakan Siswa baru belajar malam jika ada ulangan besok. Ujian Nasional merupakan hal yang menakutkan. Siswa akan lebih dekat dengan Tuhannya jika Ujian Nasional sudah dekat. Dan siswa akan kembali ke wujud semula jika sudah melewati Ujian Nasional.”

Yakin Ngga Mau Komen?