Saya pernah denger salah seorang ustadz cerita bahwa dulu ketika ia baru menikah, ia sering lupa kalau sudah punya istri. Suatu ketika, ia pergi berdua bersama istrinya dalam sebuah acara kajian. Begitu acara selesai, ustadz ini langsung pulang ke rumah, dan setibanya di rumah, ia baru ingat bahwa istrinya ‘ketinggalan’. Parah emang.
Saya sendiri ikutan ngekek waktu denger cerita itu langsung dari si ustadz. Bagaimana mungkin, saat di mana mereka harusnya asik beribadah melalui sentuhan-sentuhan kulit dan canda tawa, bisa dengan konyolnya lupa sama ‘surga dunia’ itu.
Beberapa waktu lalu, saya mendengar lagi kisah dari guru spiritual. Ia mengatakan ada seorang guru di Mekkah yang sangat mencintai ilmu, kehidupannya penuh dengan buku-buku. Untuk pergi mengajar di sebuah universitas, ia tidak mau naik kendaraan, ia menempuh 3 kilometer jarak dari rumah menuju kampus dengan jalan kaki. Dan itu ia lakukan hampir setiap hari. Ia berjalan sambil membaca buku, entah bagaimana caranya. Saat pulang, setibanya di rumah ia tidak terlalu peduli dengan istrinya. Tidak peduli dalam artian yang positif dengan tetap memenuhi hak keluarga dan kewajiban seorang suami.
Kata guru spiritual saya itu, “Kalau sudah cinta ilmu, istri itu ngga ada apa-apanya.” kata beliau sambil godain para bujang di sekitar saya.
Guru saya ini menceritakan contoh-contoh lainnya. Dan seketika itu juga saya teringat dengan kisah-kisah konyol dan agak miris yang saya alami di awal-awal berkeluarga, kadang juga masih sampe sekarang.
Kisah-kisah itu coba saya tuangkan lewat tulisan ini. Semoga ada sebaskom hikmah yang bisa kamu ambil sebagai pelajaran.
Ngobrol Bareng Temen
Masa bujang, kongkow sama temen seperjuangan itu udah jadi aktifitas yang kudu dijalani, sebagai ajang bertukar pikiran juga. Dan biasanya, waktu yang dialokasikan untuk duduk itu unlimited, sampe bokong panas dan tempat duduknya kempes. Ngga ada abisnya.
Kebiasaan ini masih kebawa-bawa di awal menikah.
“Cin, ntar sampe jam berapa ngumpulnya?” Kata istri saya sambil ngedrop saya di sebuah lokasi, dan ia mau menuju lokasi acaranya yang lain.
“Sampe jam 5 sore.” Balas saya dengan perhitungan sekenanya.
Tepat jam 5 sore seperti yang disepakati, ternyata obrolan saya tak kunjung selesai. Istri saya menunggu di luar, dan saya masih haha-hihi di dalam. This is sick.
Parahnya, hal ini terjadi berulang-ulang. Bahkan beberapa kasus, saya lupa jika setting HP saya dalam kondisi silent. Tamat riwayat. Obrolan bisa bablas sampai 30 menit bahkan 1 jam.
Biasanya saya keluar ruangan sambil pasang muka menyesal, dan mengucapkan kata maaf beberapa kali. Tapi ya besok-besok diulangi gitu lagi. Pft.
Beli Makanan
Salah satu hobi saya adalah njajan. Setiap nemu warung yang warna cat-nya menarik, biasanya saya ampiri. Ini orang tertarik bukan karena menunya, tapi karena cat-nya.
Selain faktor warna, ada juga faktor jenis jajan yang emang udah sticky dari jaman SD. Mie Ayam, Bakso, dan Es Jeruk.
Saking sticky-nya. Bisa dikatakan, jika kamu berada di Jogja dan minta diantar untuk makan Bakso atau Mie Ayam yang paling enak yang berada di lokasi paling dekat dari posisi kamu berdiri saat itu, maka saya bisa mengantarkan kamu ke sana. Freak. Saya udah nyicipin cukup banyak warung Mie Ayam sama Bakso di Jogja. Apalagi yang vetsinnya banyak.
Selain itu, ada tahu bakso, kerupuk, nasi goreng, dan beberapa makanan sampah.
Beberapa kali, saya pernah beli makanan itu untuk saya nikmati sendiri, kadang saya bawa pulang dengan wajah tak berdosa bahwa saya udah punya istri. Akhirnya makanan itu dinikmati berdua (kalau pas kebetulan istri juga suka makanan itu).
Cari Aksesoris
Aksesoris ini bisa macem-macem. Entah itu fashion, elektronik, tas, dan lainnya. Terutama elektronik, maniak banget.
Saya pernah beli headphone yang harganya parah, yang saya lupa, saya sadar atau engga ketika membeli headphone tersebut. Yang langsung rusak hanya dalam hitungan pekan. Naas memang.
Aduh, kalo ngomong aksesoris bisa banyak banget. Cukuplah satu contoh di atas ya.
Ambil ini, ambil itu. Semuanya terasa seperti masih bujang. Tapi hal-hal konyol ini selalu jadi bahan yang asik diperbincangkan dan dikenang di masa-masa sekarang sebagai pelajaran yang bikin geli. Meski terkadang masih terulang sekali dua kali.
Saya beruntung mendapatkan pasangan yang super sabar, yang kalo lagi cemberut cukup dicolek supaya bisa ngakak lagi, haha. Berasa mirip odong-odong ya.
Pola komunikasi dalam keluarga itu merupakan salah satu bagian paling vital. Seorang suami dituntut untuk bisa menyampaikan isi pikirannya supaya bisa masuk ke perasaan istri. Dan seorang istri harus bisa menerjemahkan perasaannya menjadi kata-kata yang bisa dipahami pikiran suami. Di luar konteks Mars dan Venus, fitrah laki-laki dan perempuan memang seperti itu.
Sekarang, setiap kali ada ini dan itu, saya dan istri sudah paham apa yang harus dilakukan oleh masing-masing di antara kita. Hehe, seru ya.
Akhir kalam, saya pernah lupa punya istri, bagaimana dengan kamu? :D
wah lama nggak mampir sini. tulisan ini paling menarik, karna aku pun jg sama, suka lupa kalau udah bersuami :D